Selasa, 25 Juni 2024

Bagan Novel 1

Pelangi Di Langit Seoul

‘Seberapa besar kemungkinan untuk menggapai impian seseorang?? Apakah seseorang bisa mewujudkan semua impiannya?? Masikah bisa memulai impian di usia 30?’
Pertanyaan itu selalu muncul di dalam benakku saat aku memandang gambar Namsan Tower, dan saat itu juga aku tersadar kalau tidak semua manusia bisa mewujudkan impiannya, banyak dari bagian manusia terebut yang harus merelakan beberapa mimpinya untuk tetap bisa melangsungkan hidupnya. Karena mimpinya belum tentu membuat hidupnya bahagia di kemudian hari, namun apakah salah jika satu saja dari mimpi itu bisa menjadi kenyataan??’


----Ananta Gayatri Rumi----


‘Kepercayaan itu apa??bisakah manusia saling percaya?padahal mereka sendiri yang mengkhianati kepercayaan itu. Setiap manusia memiliki sebuah pilihan, dan aku memlilih untuk tidak percaya kepada siapaun. Karena jika sudah percaya, meraka akan memberikan apapun yang mereka punyai dan mereka juga mengeluarkan semua rahasia yang mereka punya. Padahal tidak semua manusia bisa di percaya dan juga di pegang kata-katanya. Aku hidup dari perpecahan kepercayaan kedua orang tuaku yang menjadikan aku tidak pernah bisa percaya pada siapapun.’

----Kang Ha Joon----






Pelangi Di Langit Seoul


Part 1, Goodbye Office
Suara gemericik air memenuhi sebuah ruangan hari itu, dindingnya terlihat sedikit lembab, dan banyak kotak berukuran besar yang di letakan tepat di deretan dinding lembab itu. Terlihat sosok wanita yang sedang memasukkan beberapa barang kedalam kardus yang berukuran besar itu, dia terlihat sibuk dengan kegiatannya di pagi itu. Sesaat kemudian dia terlihat mematikan kran yang sedari tadi di biarkannya mengalir di kamar mandinya. Dia menghela nafas panjang sebelum memasuki kembali ruangan lembab beserta kardus besar itu. Sesekali dia melihat sekelilingnya, ruangan yang sudah hampir 9 tahun menemaninya, dia menghabiskan masa remajanya di ruangan itu, sepanjang hari, sepanjang minggu, bulan bahkan tahun. Kamar berukuran 3x3 m itu menjadi saksi perjalanan hidupnya di masa remaja nya, dan kali ini dia harus benar-benar meninggalkan kamar itu. Masih terlihat bekas beberapa pakuan di dindingnya, dan juga warna belang karena terkena lemari bukunya, serta masih tergantung beberapa fotonya bersama teman-temannya. Dia tampak tersenyum sekeilas dan kembali memasukkan beberapa barang ke dalam kardus itu.
Hari itu suasana masih sama seperti hari pada hari sebelumnya dan sebalumnya lagi, wanita tadi keluar dari kamarnya dan berjalan keluar dari gerbang berwarna hitam dengan karat di mana-mana.
“Hari terakhir ngantor non...??” tanya seorang wanita paruh baya dari arah belakangnya
“Ohhh...iya bu...” jawabnya dengan senyuman
“Walah...gak terasa ya non, udah mau pindah aja, padahal non penghuni paling lama di kost ini...” katanya lagi dengan raut wajah yang terlihat sedih
“Iya bu, kan masih ada anak-anak yang lainnya bu...” jawabnya
“Iya non...semoga dimanapun no berada akan selalu sehat dan sukses ya non...terima kasih selama ini udah baik sama bibi, sering kasih makan juga buat bibi...” kata wanita paruh baya tadi seraya memegang tangan wanita itu
“Iya bi sama-sama, bi Asih baik-baik ya disini, jaga kesehatan, makasih juga udah baik sama saya selama ini...” katanya lagi
“Iya non....”
“Saya berangkat dulu ya bi...” lanjutnya
Wanita paruh baya itu adalah pembantu di kost, dia sering membantu membersihkan halaman kost, menyapu, bahkan kadang juga me loundry pakaian anak-anak di kost itu. Ananta Gayatri Rumi, nama wanita yang baru saja berpamitan dengan bi Asih pembantu kost tadi. Dia akrab di panggil Rumi oleh teman-temannya, baik di lingkungan sekitarnya ataupun di kantor. Hari itu adalah hari terakhir Rumi bekerja di kantor, karena 2 hari lagi dia akan kembali ke kampungnya. Dia memutuskan untuk membuka usaha di rumah sambil membantu kedua orang tuanya di kampung halamannya.
Seperti pagi pada hari sebelumnya, Rumi sudah duduk di tempatnya, dan di sampingnya sudah ada secangkir kopi hangat dan juga roti panggang hangat. Tangan dan matanya masih fokus di komputernya, padahal di sekalilingnya masih terlihat sepi, bahkan kursi masih banyak yang kosong.
“Mbak Rumi udah datang...” kata Letti salah satu karyawan kantor
“Ohh...iya Let, kamu baru datang ? udah sarapan?” tanya Rumi sambil melirik ke arah Letti yang duduk di sampingnya
“Iya mbak, aku udah sarapan kok...”
“Hemmm...” jawab Rumi sambil kembali mengetik di komputernya
“Banyak banget ya mbak kerjaannya...hari ini kan hari terakhir mbk ngantor...” kata Letti mendadak sedih
Rumi menghentikan aktivitasnya dan memandang Letti yang duduk di sampingnya, lalu dia menyodorkan roti panggangnya di depan Letti.
“Udah jangan melow gini ah pagi-pagi, nih makan roti dulu biar semangat...” kata Rumi kemudian
“Kan aku sudah bilang mbak, aku udah makan...” jawab Letti sambil meletakkan roti panggang tadi di samping kopi Rumi
“Let...aku tau, kamu kan jarang sarapan pagi, soalnya gak sempet kena macet sama letak rumah kamu cukup jauh dari kantor, naik angkot aja harus ganti dua kali, makanya kamu jarang sarapan, udah makan aja dulu...” kata Rumi sambil terus mengetik
Letti tidak menjawab apapun, dan dia hanya memandang Rumi dengan tatapan sedih, sesekali dia memperhatikan meja Rumi yang sudah sangat rapi, hampir 70% barang Rumi sudah tidak menghiasi mejanya, termasuk foto oppa-oppa korea yang biasanya ada di meja Rumi, itu menandakan kalau Rumi akan benar-benar meninggalkan kantor yang selama 9 tahun ini menjadi tempat mengais rejeki. Rumi sadar kalau Letti dari tadi terus memperhatikannya, lalu Rumi menoleh dan dia mendapati Letti dengan mata berkaca-kaca.
“Let...kamu kenapa...??” tanya Rumi
“Gak apa-apa mbak...” jawab Letti sambil berusaha menyembunyikan titik air mata di ujung matanya
“Let....”
“Gak apa-apa mbak...aku ke toilet dulu ya...” jawab Letti lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan Rumi sendiri
Rumi paham betul dengan perasaan Letti, Letti adalah temanya di kantor, walaupun belum genap setahun Letti kerja disana namun dia sudah akrab dengan Rumi. Letti juga adalah orang yang nantinya akan menggantikan semua pekerjaan Rumi di kantor, maka itu beberapa bulan ini dia belajar semuanya yang bisa Rumi lakukan dan itu juga yang membuat mereka berdua semakin dekat.
Hari itu tidak ada yang special, hanya perpisahan kecil yang dilakukan oleh Rumi, mengingat dia juga tidak begitu akrab dengan semua anggota kantor. Selama dia bekerja dia hanya melakukan pekerjaannya saja, jarang di ajak kemana-mana oleh teman-teman sekantornya. Mungkin karena tidak sepaham, di kantor tidak banyak orang yang suka dengan korea, dan Rumi adalah orang yang amat sangat menyukai korea, dari lagu sampai dramanya semuanya tentang korea dia suka, dia bahkan mengambil kursus bahasa korea supaya bisa berkomunikasi dan memahami bahasa dari negeri gingseng itu. Maka itu Rumi sering terlihat sendirian di kantornya, dia sering sekali terlihat makan sendirian, bahkan di waktu luang jam istirahat dia habiskan untuk menonton drama di ponselnya. Begitulah kehidupan Rumi selama ini di kantor, dia merasa nyaman dengan semua yang dia lakukan itu, tanpa dia harus duduk menghibah teman satu kantornya, dia cukup tenang dengan apa yang dia lakukan.
Sore itu hanya ada ceremonial kecil yang di siapkan oleh beberapa orang di kantor yang sedikit lebih dekat dengan Rumi, mereka yang juga menyukai korea sama seperti Rumi. Rumi sudah cukup bahagia dengan itu semua, dia juga sangat terkesima kalau masih ada beberapa orang yang begitu menyayanginya dengan sepenuh hati. Walaupun dia sering melewati hari-harinya sendirian, namun dia juga bersyukur masih ada beberapa oarang yang menyayanginya disana. Rose salah satunya, dia adalah patner fansgirlnya selama ada di kantor, hampi setiap pagi Rumi dan Rose selalu menghabiskan sedikit waktu mereka hanya untuk membahas drama, betapa kehilangannya Rose setelah Rumi memutuskan untuk resign dari kantor.
“Janji ya eonni tetep terus contact aku...” kata Rose sambil memeluk Rumi dengan erat
Eonni adalah panggilan Rose kepada Rumi selama di kantor, Eonni memiliki arti kakak perempuan dalam bahasa korea, Eonni dipakai seorang perempuan untuk memanggil perempuan lain yang umurnya di atasnya.
“Iya janji...kamu jaga kesehatan, kalau lembur jangan lupa minum vitamin...kamu kan sering lembur...” kata Rumi
Rose menatap dalam ke mata Rumi dan mereka saling menitihkan air mata, walaupun bibir mereka tetap tersenyum namun mereka saling merasakan kelilangan satu sama lain. Setelah berpamitan dengan semua orang di kantor, Rumi berjalan ke arah lift dengan membawa sisa-sisa barang dari kantornya.
“Ini sudah berakhir...benar-benar ini sudah berakhir...” batin Rumi
9 tahun ini Rumi jalani kehidupan yang jauh dari kedua orang tuanya dan juga keluarganya. Dia menghabiskan usia 20 tahunnya di kota ini, setiap jalanan kota ini seakan menyimpan semua kenangannya, setiap tembok dinding jalan serta pepohonan seakan jadi saksi kehidupannya selama 9 tahun merantau. Tempat tidur yang sudah usang menjadi saksi saat Rumi menghabiskan semua air matanya saat dia kangen dengan keluarganya atau saat dia di masa sulit saat di kantor dan tidak ada satupun orang yang tahu akan hal itu.
Saat Rumi memasuki lantai basemant untuk mengambil kendaraannya, tiba-tiba layar handphone nya menyala, dan terlihat ada pesan masuk.
‘You did well...I’m so pround of you...don’t be scared dear...tomorrow will begun...your brand new life...’
Rumi tersenyum melihat pesan itu, pesan itu dari sahabatnya yang bernama Poppy. Poppy adalah salah satu orang yang selalu ada di sampingnya bagaimanapun keadaan Rumi, dan Rumi sangat beruntung bisa memilikinya sebagai sahabatnya. Bukan hanya sebagai sahabat, namun Poppy sudah seperti saudaranya sendiri, apa yang terjadi di kehidupan Rumi, Poppy pasti tahu dan begitu pula sebaliknya. Rumi sering memanggil Poppy dengan ‘Eonni’ sama seperti yang Rose lakukan kepadanya, Poppy lah yang selalu menyemangati Rumi saat Rumi sudah ingin menyerah akan hidupnya.
‘Thank You Eonni...you’re the best...best ever that I have...thank you for always carring me and loving me...I will call you later...’ 
Balas Rumi, lalu dia melanjutkan perjalanan pulangnya, sebelum dia meninggalkan gedung tempat dia bekerja selama 9 tahun ini dia kembali menoleh ke pintu lobi. Dia masih ingat betul seperti apa dia 9 tahun yang lalu. Hanya gadis desa yang minim pengalaman, harus berjuang di tempat asing, penuh dengan sebuah kejutan. Lika-liku hidupnya jauh lebih menegangkan di bandingkan lika-liku pada roller coaster begitulah kira-kira. Rumi tersenyum masam, dan dia akhirnya meninggalkan gedung itu dan berlalu di jalanan yang padat dengan lalu lintas. Di benaknya hanya ada satu, sebagian bebannya sudah dia angkat, walaupun itu sangat berat, namun akhirnya Rumi memilih untuk melepasnya. Lagipula semua orang di kantor tidak ada yang menyesalinya, wajah mereka seolah senang saat Rumi pergi dari sana. Itulah yang dipikirkan oleh Rumi, karena selama ini dia selalu terasingkan makanya dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa dari semua temannya di kantor, kecuali pada Rose.
Rumi tiba di kost nya, dia membuka pintu kamar dan sejenak membaringkan badannya untuk melepas penatnya. Karena esok pagi dia harus memulai perjalanan kembali ke kampung halamannya. Setelah beberapa menit berbaring, dia mulai membereskan barang-barang yang masih tersisa di kamarnya.
“Sudah di pack semua barang-barang kamu Rum..?” tanya ibu Rumi dari telpon
“Iya bu...sudah selesai semuanya, besok tinggal diangkut aja kok, ibu sudah makan..?” tanya Rumi sambil masih merapikan lakban di atas kardusnya.
“Sudah kok...besok gak usah keburu-buru Rum...pelan-pelan aja yang penting sampai rumah dengan selamat...bilangin sama pak To kalau nyetir gak usah ngebut...” pesan ibunya
Pak To adalah sopir yang diminta untuk menjeput Rumi besok, Pak To sudah sering menjadi sopir bapaknya Rumi di kampung untuk pergi ke luar kota kalau lagi dinas. Bapak Rumi seorang kepala desa, jadi kadang dia harus pergi ke luar desa untuk dinas dan Pak To lah yang menemani bapaknya Rumi. Dari Rumi kecil Pak To sudah jadi sopir, dulu dia jadi sopir angkutan umum yang anter anak-anak sekolah termasuk Rumi.
“Iya bu...besok Rumi bakalan bilang ke pak To buat pelan-pelan nyetirnya, bapak dimana buk..??” tanya Rumi
“Lagi di rumah pak Mukijo, mau bahas acara agustusan di desa...ya udah kamu istirahat, gak usah mikir yang macem-macem ya...istirahat besok kan masih perjalanan panjang..” kata ibunya lagi
“Iya bu...ibu juga istirahat ya...salam buat bapak sama Rendra..” kata Rumi
Rendra adalah adik laki-laki Rumi, dia sudah lulus dari universitas dan sekarang sedang membuka usaha percetakan di rumahnya di desa sana.
“Iya Rum....” jawab ibunya lagi
Rumi mematikan telfonnya dan bersiap untuk beristirahat, dia berjalan melewati cermin di depan kamar mandi, sejenak dia berhenti dan memandang ke arah cermin.
“You have be deserve Rumi...you’re best...hwaiting...” batin Rumi.
Hari itu adalah hari yang panjang untuknya, pada akhirnya dia memilih untuk mengakhiri penderitaannya selama ini. Rumi memilih kembali ke kampungnya dan mewujudkan impiannya disana, menjadi apa yang dia inginkan setelah beberapa kali dia mengubur keinginannya dan juga impiannya, pada kali ini dia berambisi untuk mewujudkannya, harapannya hanya satu bisa menjadi seseorang yang diakui olah bapaknya.
Part 2, Wellcome to Village
Pagi itu mobil pick up pak To sudah sampai di depan kost Rumi, sesegera mungkin Rumi mengangkat semua barangnya di bantu oleh Pak To ke dalam bak mobil pick up. Rumi memang sengaja menyuruh Pak To untuk datang pagi-pagi buta supaya tidak terjebak macet di jalan nanti, jarak rumah Rumi di desa dan tempat tinggalnya sekarang sekitar 4-5 jam perjalanan darat, lumayan jauh dan juga terkenal macet di beberapa titik. 
“Sudah semua non...?” tanya pak To
“Sudah pak, kamar saya juga sudah kosong...bapak maju kedepan dulu aja ya saya mau pamitan sama ibu pemilik kost dulu...” kata Rumi
“Iya non...” kata pak To sambil berjalan kearah mobil pick up nya
Rumi berjalan ke depan dan dia sesekali melihat pagar hitam yang berkarat itu, pagar yang selalu dia lewati selama 9 tahun ini. Rumi berpamitan dengan ibu kostnya dan dia memulai perjalanannya ke rumahnya, kembali ke kampung halamannya, kembali ke keluarganya. Senang dan juga sedih dia rasakan di sepanjang jalan pulang, pandangannya tidak lepas dari sisi jalanan, dia mengingat semua memori yang tertanam di setiap sudut jalanan di kota itu, kota yang sudah menjadi temannya. Dia mengingat setiap penanda jalan dan juga nama jalan di setiap sudut kota itu, pos-pos polisi, pedagang kaki lima, masjid, restoran, bengkel, tempat laundry baju, jalanan ke rumah Rose, jalan ke kantor, depan gedung kantor, semua dia lewati hari itu. Dan mungkin itu jadi hari terakhir dia melihatnya, mata Rumi seakan tidak ingin melewatkan sedetikpun, dan dia terus menatapnya, menatap semua sudut kota yang tersimpan di dalam kotak memorinya.
Setelah 3 jam perjalanan, Rumi dan Pak To melalui hamparan sawah dan juga pepohonan yang rindang, ini menandakan sudah hampir dekat dengan kampung halamannya. Rumi tersenyum simpul dan membuka kaca mobilnya, dia mendongakkan kepalanya seranya ingin menghirup kembali aroma kampung halamnanya.
“Bentar lagi sampai non....udah gak sabar ya ketemu bapak sama ibu di rumah...?” celetuk Pak To
“Iya pak...udah kangen masakan ibu...hehehe...” jawab Rumi di iringi tawa kecilnya
“Jadi anak rantau emang susah ya non, udah jauh dari orang tua, disana sendirian, apa-apa juga di hadapi sendirian...”
“Iya pak...namanya juga merantau...hehehehe...”
“Tapi bapak bangga lho sama non, mau memulai dari bawah semuanya, mau berusaha sendiri, nyari uang sendiri, non emang keren....” kata Pak To lagi
Rumi tersenyum sambil memandang Pak To, terlihat di mata Pak To ada ketulusan saat mengatakan hal tersebut pada Rumi.
“Andai bapak juga mengatakan hal ini sama aku...” batin Rumi
“Nanti kalau non jadi buka usaha, bapak doain lancar deh....biar nanti kalau anak bapak udah selesai sekolah bisa ikut kerja bareng sama non...” kata pak To lagi
“Iya pak...amin...semoga di lancarkan usaha saya ya pak...” jawab Rumi disertai senyuman
Rumi kembali merenung lagi setelah pembicaraannya dengan Pak To, dia seperti kembali ke beberapa tahun lalu. Rumi di usia 6 tahun, bercita-cita masuk universitas kedokteran, siang malam belajar dengan giat, ikut les di mana-mana berjuang tanpa lelah, namun nilai masih belum cukup untuk masuk universitas itu dan diapun harus merelakan mimpi pertamanya. Dia memutuskan untuk masuk sastra setelah gagal di kedokteran, dia memberanikan diri berbicara kepada bapaknya, namun bapaknya tidak mengijinkan dia melanjutkan kuliah disastra, alasannya nanti mau kerja apa?. Itulah yang di ucapkan oleh bapaknya saat itu, Rumi kembali mengubur mimpinya. Harapannya semakin menipis saat bapaknya mendaftarkannya di fakultas pertanian, dan berharap putrinya bisa lulus sebagai insinyur pertanian. Padahal hati Rumi sangat bergejolak menolak, dia sama sekali tidak tertarik dengan bidang itu, namun apalah dayanya, dia memilih menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, apalagi pada saat itu keluarga Rumi juga masih kesusahan untuk biaya sekolahnya dan juga adiknya Rendra, makanya Rumi mengalah dan dia memasuki fakultas yang di pilih oleh ayahnya.
Dua tahun berjalan Rumi mulai membuka dirinya dan mulai menyukai pertanian, dia senang karena memiliki banyak teman yang asik-asik, dia melupakan kisah pahitnya sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke fakultas itu. Pada tahun terakhir kuliahnya, dia bersama beberapa temannya membuat obat untuk tanaman hydroponik, awalnya untuk ujian skripsinya, namun akhirnya Rumi dan temannya menjualnya kepetani-petani hydroponik dan obat itu lumayan laku. Rumi memulai mimpinya lagi, dia ingin memiliki toko yang memproduksi obat-obatan hydroponik dan dia ingin terus bekerja sama dengan teman-temannya itu. Sebelum Rumi mengutarakan keinginannya membuka usaha, sang bapak sudah mewanti-wanti agar dia bekerja di kota setelah lulus, karena bapaknya punya kenalan orang yang punya perusahaan di kota dan Rumi harus masuk sana.
Jadi anak yang berbakti, itulah yang ada di pikiran Rumi saat itu, berbakti menurut Rumi adalah mematuhi semua omongan orang tua, karena orang tua Rumi yang paling benar, itulah yang ada di benak Rumi. Entah sudah berapa mimpi yang Rumi korbankan untuk menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya, dia sendiri sudah malas untuk menghitungnya. Dan setelah bekerja selama 9 tahun lamanya dia tidak pernah mendapatkan kenaikan jabatan, gajinya juga tidak sebanyak teman-temannya. Rumi di sana tinggal sendiri, biaya hidup dan juga lain-lain Rumi menanggungnya sendiri, dia tidak pernah meminta kepada kedua orang tuanya di kampung. Dia harus lembur setiap hari, bahkan di hari weekend pun dia masih bekerja, belum lagi kalau deadline dari atasan dan harus selesai. Segala caci maki, omelan dan juga kemarahan atasan sering bersarang kepadanya, dan Rumi di haruskan untuk tetap tegar, tetap memasang senyum, tetap bekerja dan tetap harus menjadi anak yang berbakti. Itulah Rumi, dia sebenarnya hanyalah sebuah pohon yang sudah mau tumbang, akarnya sudah terkikis oleh lumut, batangnya sudah sangat kering dan banyak pula ranting yang sudah patah, namun pohon itu tetap di tuntut berbuah, dan berdaun lebat. 
Rumi memalingkan wajahnya dan melihat Pak To yang sedari tadi serius menyetir mobil, Rumi tersenyum lalu bertanya pada Pak To.
“Pak...bapak tau gak si Wati anak bapak sukanya makan apa...??” tanya Rumi tiba-tiba
“Lho..ya tau dong non...” jawab Pak To disertai senyuman di sudut bibirnya
“Apa emangnya pak...??” tanya Rumi lagi
“Si Wati suka banget sama pecel non apalagi launya tempe bacem...heeemmm bisa habis dua piring dia kalau makan...” jawab Pak To disertai suara cekikikan mengingat putrinya
Rumi tersenyum melihat Pak To tersenyum menceritakan tentang putrinya si Wati, begitulah orang tua, mereka selalu senang jika menceritakan tentang anak-anak mereka.
“Wah....bapak sepertinya tahu banget apa yang Wati suka...” kata Rumi kemudian
“Iya dong non, ya namanya juga orang tua non, pasti tahu lah maunya anak bagaimana...” jawab Pak To
“Apa bapakku juga sering cerita tentang aku ke Pak To..?” tanyaku
Pak To terdiam sejenak, lalu dia kembali tersenyum dan matanya melirik kearah Rumi.
“Iya non...bapak sering juga bilang kangen kalau non jarang pulang ke rumah, mungkin sekarang kan sudah pulang terus, bapak jadi gak kepikiran lagi deh...” jawab Pak To
Rumi hanya tersenyum simpul, lalu dia kembali menatap ke luar jendela kaca mobilnya, yag sedari tadi masih melewati area persawahan.
“Iya Pak...semoga saja begitu....” kata Rumi dengan lirih
Pak To bisa merasakan kegelisahan gadis yang sedari kecil dia tahu masa kecilnya seperti apa, gadis yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, gadis yang tidak pernah menolak perintah kedua orang tuanya apalagi bapaknya.
“Non...jangan murung gitu dong...sebentar lagi sampek nih...” kata Pak To menyemangati Rumi
“Iya pak...makasih ya...bapak udah nemenin perjalanan panjang saya...” kata Rumi sambil tersenyum menatap Pak To.
“Sama-sama non...” jawab Pak To kemudian.
Setelah melewati 4 jam perjalanan, mobil pick up yang Rumi kendarai bersama Pak To sampai di sebuah halaman yang cukup luas, dan disana sudah berdiri wanita separuh baya dengan seorang laki-laki yang berusia memasuki umur 20 tahun. Mereka adalah ibu Rumi (Bu Sali) dan adiknya Rendra, mereka berdua tampak tersenyum kearah Rumi yang juga memberikan senyuman di balik kaca mobil Pak To.
“Allhamdulillah udah sampek kamu Rum...” kata bu Sali sambil memeluk Rumi saat Rumi turun dari mobil pick up itu.
“Iya bu...Rumi kangen sama ibu...” balas Rumi sambil memeluk erat ibunya
“Bawaannya banyak banget kak...” seru Rendra sambil membantu Pak To menurunkan barang dari mobil
“Ye...namanya hidup disana 9 tahun ya banyak lah....” timpal Rumi
“Gak sekalian rumahnya bu kost di bawa sekalian kak...lumayan buat tambahan...” celtuk Rendra
“uhhh dasar kamu...” jawab Rumi sambil memukul bahu adiknya
Rumi dan ibunya berjalan beriringan memasuki rumahnya, Rendra dan Pak To masih menurunkan barang Rumi dari mobil pick up itu.
“Bapak mana bu..?” tanya Rumi
“Masih di balai desa, bapakmu akhir-akhir ini sibuk banyak banget acara desa, maklumin aja ya kalau emosinya sering naik turun...” kata bu Salih sambil memberikan minuman ke putri satu-satunya
Rumi lalu meneguk air pemberian ibunya , lalu dia tersenyum memandang ibunya yang sedari tadi sibuk menata piring dan beberapa lauk di atas meja.
“Udah bu...nanti biar Rumi sendiri yang ambil makannya...gak usah di siapin...ibu pasti capek dari tadi pagi udah masak...” kata Rumi yang membuat ibunya menghentikan pekerjaannya
“Gak apa-apa...udah kamu mandi sana dulu biar seger, habis itu makan terus istirahat, ya...” kata bu Sali sambil menatap putrinya yang berdiri di belakangnya
“Kak...ini barang taruh di teras apa langsung masuk ke dalam...” teriak Rendra dari teras rumah
“Udah kamu taruh situ dulu nanti kakak yang masukin...makasih ya...” balas Rumi
“Okai...” timpal Rendra
“Eh iya...belum kasih uang ke Pak To...” kata Rumi sambil beranjak dari tempat duduknya
“Ehhh Rum...” cegah ibunya
“Kenapa bu..??”
“Pak To udah di kasih uang sama bapakmu, kamu gak perlu kasih lagi...” tambah bu Sali
“Enggak apa-apa bu...itung-itung tadi Pak To bantuin angkat barang, Rumi mau kasih rejeki juga buat keluarga Pak To...” jawab Rumi kemudian sambil berlalu dari ibunya
Rumi tiba di teras rumahnya, dan dia berdiri di samping Rendra yang masih mengobrol dengan Pak To.
“Pak..makasih ya udah bantuin Rumi...” kata Rumi sambil menyodorkan amplop putih dari saku jaketnya
“Waduh non...gak apa-apa non...gak usah non...tadi bapak udah bayar saya kok non...” kata Pak To menolak pemberian Rumi
“Gak apa-apa pak...anggap aja ini rejeki buat wati sama buk Sum..” jawab Rumi lagi
Pak To tersenyum, lalu mengambil amplop pemberian Rumi tadi dia melihat gadis kecil yang dulu sering dia antar kesekolah sekarang sudah berubah jadi wanita dewasa.
“Makasih lho non....” kata Pak To kemudian
“Iya pak sama-sama...” jawab Rumi dengan senyuman
Malam itu Rumi makan malam bersama keluarganya, bapak Rumi juga ada di sana, raut mukanya yang sudah termakan usia terlihat sangat lelah malam itu. Rumi memutuskan untuk tidak mengajak ngobrol yang berat-berat dengan bapaknya malam itu. Setelah makan bapaknya Rumi, Pak Bagiyo namanya dan akrab di panggil Pak Giyok atau Pak Gik duduk di teras rumah bersama Pak Mukijo, sekertaris desa. Mereka berdua tampak sedang mengobrol dengan serius, sesekali Rumi mencuri pandang ke arah ayahnya sambil merapikan barangnya di ruang tengah di bantu dengan ibunya.
“Kenapa Rum...??” tanya bu Sali karena melihat gelagat aneh Rumi
“Oh..gak apa-apa kok bu...” jawab Rumi kemudian
“Kamu kangen bapakmu ya..??” tanya bu Sali lagi
Rumi hanya tersenyum dan kembali merapikan barang-barangnya, sesekali dia mengobrol dengan ibunya. Setelah sebagian barang-barangnya sudah tertata rapi, Rumi memasuki kamarnya dan dia mulai menelfon sahabatnya Poppy.
“Hiii...Assalamualaikum....” kata Poppy dari sebrang sana
“Walaikum salam eonni....” jawab Rumi
“Gimana nih udah sampai rumah dengan selamat..??” 
“Allhamdulillah eonni, perjalanan lancar dan walaupun macet dikit gak apa-apa asal sampai dengan selamat...” jawab Rumi
“Kabar bapak sama ibu sehat Rum..??”
“Allhamdullialah sehat eonni...”
“Salam ya buat mereka, aku sejak menikah udah jarang maen kesana...next deh kalau udah keluar babynya aku kesana...” kata Poppy
“Aduh eonni...gak apa-apa...iya nanti aku salamin ke mereka...”
“Gimana perasaan kamu saat ini Rum..?” tanya Poppy tiba-tiba
Rumi terdiam saat dia mendengar pertanyaan dari Poppy, dia seolah tidak bisa menyembunyikan perasaan kacaunya saat ini.
“I’m okay eonni...I’m happy...” jawab Rumi kemudian
“Really..?? are you sure..?” tegas Poppy
“Yeah...why??”
“If you’re happy, you will not say happy, I can listen it...your voice is not happy now...what are you thingking??” tambah Poppy
“What I did was right eonni?”
“Why...? is there anything missing...?”
“I don’t know...I think it’s just no right for me...”
“It’s okay...it’s normally...you have to take a rest tonight...pray to Allah, make sure you’re do it...believe in Allah okay...everything gonna be okay...” kata Poppy menenagkan Rumi
“Thank you eonni...you’re best...”
“Okay..see you later...make sure you have to take a rest okay...no drama, no watching anything just sleep okay....”
“I know...okay..see you...”
“Bye bye....”
“Bye...Asslamualaikum...”
“Walaikum salam...”
Setelah berbicara dengan Poppy perasaan rumi sedikit lebih tenang, dia bisa merasakan keberadaan sahabatnya itu sangat mempengaruhinya. Rumi berbaring di atas ranjangnya dan membuka instagramnya, disana Rose memposting sebuah foto hadiah pemberian dari Rumi di ulang tahun Rose 2 tahun lalu.
‘I’ll ready to missing you eonni....’ tulis Rose
‘Me too...keep in touch yah, I miss you too my patner of crime to fangirl...’ balas Rumi di kolom komentar.
Malam itu Rumi terlelap di kamarnya yang sudah lama tidak di tinggali, namun tidak tercium bau pengap disana, hampir setiap hari bu Sali rajin membuka jendela kamar putrinya itu dan membersihkannya, jadi malam itu Rumi bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Matahari mulai muncul kepermukaan, sisa tetesan empun di daun masih belum mencair, sayup-sayup terdengar suara tukang sayur yang menawarkan dagangannya. Ibu-ibu dari segala penjuru menyerbu penjual sayur itu. Bu Sali tergesa-gesa keluar dari dapur dan berlari menghambur dengan para ibu-ibu lainnya di penjual sayur tadi.
“Eh bu...si Rumi udah balik ke rumah ya...??” tanya salah satu ibu
“Oh..iya bu, kemarin baru nyampek rumah...” jawab bu Sali
“Wah udah gak kerja di kota lagi ya sekarang...??” timpal ibu-ibu yang lainnya
“Iya bu, mau buka usaha di rumah aja katanya sambil jaga orang tua...” jawab bu Sali disertai senyuman
“Ohhh begitu toh...”
Bu Sali meninggalkan penjual sayur dan beberapa ibu-ibu yang masih disana, dia membawa satu kantong plastik ikan nila kesukaan Rumi juga beberapa sayuran lainnya.
“Kasihan ya si Rumi di pecat dari kerjaannya, sekarang balik ke rumah gak dapat hasil apa-apa selama kerja disana...” kata salah satu ibu-ibu disana
“Iya ya...mungkin uangnya habis buat foya-foya kali ya bu...biasa hidup di kota kan begitu...” timpal yang lainnya.
Bu Sali masih bisa mendengarnya dengan jelas pembicaraan mereka, namun dengan berbekal ketabahan dia tetap berjalan membelakangi semua perkataan ibu-ibu tadi yang sebenarnya tidak sesuai faktanya. Begitulah di desa, hal kecil apapun akan menjadi besar, sebenarnya dimanapun mau di desa atau di kota model orang hanya ada dua, yang pertama adalah model orang yang cuek, mau apa aja yang terjadi kalau itu tidak merugikan dirinya dia tidak akan perduli, dan model yang kedua ini yang paling banyak di banding model pertama, yaitu tukang gosip. Orang yang menyebar berita apapun yang membuat mereka bahagia, walaupun sebenarnya berita itu tidak benar adanya. 
Bu Sali duduk di teras rumah sambil mengatur nafasnya, betapa sakit hatinya akibat perkataan para tetangganya itu tentang putrinya. Dia menahan air matanya dan terus mengambil nafas panjang serta menepuk dadanya perlahan.
“Ibu kenapa...?” tanya Rumi yang sedari tadi melihat ibunya duduk di teras rumah
“Ohh gak apa-apa kok Rum...Cuma capek aja habis jalan jauh tadi...” jawab bu Sali sembari bangun dari tempatnya duduk dan berjalan memasuki rumah di ikuti Rumi
“Beneran ibu gak apa-apa...?” tanya Rumi memastikan keadaan ibunya
“Iya Rum...” jawabnya lagi
Mereka berdua berjalan beriringan menuju dapur, dan Rumi membantu ibunya mengeluarkan semua belanjaan dari kantong plastik.
“Ada ikan kesukaan kamu Rum...tadi harganya lagi murah, makanya ibu beli...” kata bu Sali
“Iya bu...Rumi bersihkan dulu ikannya ya...habis gitu di goreng...” kata Rumi dengan nada senang
Bu Sali memandang sendu putrinya, putri yang sangat dia sayangi dengan sepenuh hati, dia sering berfikir kenapa nasib putrinya tidak pernah baik. Satu-satunya orang yang mendukung impian Rumi adalah dia, namun dia tidak bisa membantu Rumi untuk mewujudkannya, karena dia harus menuruti perintah suaminya. Melihat Rumi yang sedang membersihkan ikan di dekat sumur, bu Sali teringat waktu Rumi masih berusia 6 tahun, dia melakukan hal yang sama seperti saat ini, saat Rumi membersihakan ikan nila dia tiba-tiba berkata padanya.
“Ibu...Rumi kalau udah gede mau jadi dokter ah...ini Rumi udah pinter belah ikan....kalau dokter kan sukanya belah-belah kan bu...kata kak Asma gitu...” kata Rumi kecil dengan polosnya
Pada saat itu bu Sali hanya tersenyum menanggapi perkataan putrinya itu, dan dia beranggapan itulah impian pertama putri kecilnya pada saat itu. Setelahnya Rumi benar-benar berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan nilai yang bagus, dia tak henti-hentinya belajar dan berusaha membuat kedua orang tuanya bangga. Namun memang manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, semuanya Allah S.W.T yang menentukannya. Rumi gagal masuk kedokteran, dan dia saat itu sangat terpukul, dua hari dia jarang makan dan terlihat lesu. Namun setelah itu dia menemukan hobi barunya, saat ibunya membaca koran harian, Rumi tiba-tiba bilang ingin belajar sastra agar bisa jadi penulis. Sang ibu pun menyemangatinya, dia ikut tersenyum saat melihat putrinya tersenyum bahagia dengan impian keduanya. 
Dan lagi-lagi Rumi gagal mewujudkannya, bapaknya sudah terlanjur memilihkan fakultas lain yang sama sekali tidak pernah dia inginkan. Wajah Rumi kembali bersedih, dan hati bu Sali pun juga ikut terluka, sudah dua kali putrinya gagal mewujudkan mimpinya. Rumi harus menerima dengan lapang dada pilihan bapaknya itu, dan dia kembali berusaha membuat bangga kedua orang tuanya. Selang beberapa tahun kemudian, Rumi menceritakan keinginannya untuk berbisnis, dia bercerita dengan penuh suka cita pada ibunya, dan ibunya seperti kembali melihat cahaya di mata putrinya yang selama ini sudah redup. Bu Sali sangat bahagia mendengar impian Rumi dan terus menyemangati putrinya itu. Dan seperti yang sudah bisa di tebak, Rumi gagal lagi mewujudkan mimpinya, dia harus menjadi budak kerja rodi di kantor dengan gaji di bawah standar, hanya karena dia bukan lulusan sarjana ekonomi atau akuntansi, dia hanya sarjana pertanian dan sebenarnya tidak cocok bekerja di perkantoran.
Seolah nasib buruk selalu mengikuti putrinya, sang ibu merasa sangat iba dengan Rumi, sepanjang hidup Rumi dia hanya hidup untuk bapaknya, dia hanya menuruti semua keinginan bapaknya, sakit sangat hati bu Sali melihatnya, dan ironisnya dia tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa melawan watak keras suaminya.
“Bu...ini di bumbu seperti biasanya kan...?” tanya Rumi memecah lamunan bu Sali
“Ohh..iya Rum...ibu mau ambil daun pepaya dulu ya di tegal [pekarangan/tanah lapang untuk bercocok tanam] “ kata bu Sali lalu pergi meninggalkan Rumi di dapur 
Rumi hanya memandang sekilas ibunya tadi, dan dia bisa merasakan kalau ibunya sedang bersedih, walaupun Rumi tidak tahu apa masalahnya, namun dia bisa merasakannya. Rumi menghela nafasnya dan kembali memasak ikan nila yang sudah dia bersihkan. Bu Sali berjalan ke pekarangan rumahnya, dan di sana dia menumpahkan air matanya. Kadang seorang ibu tidak pernah memperlihatkan kesedihan mereka kepada anaknya, karena mereka takut anaknya akan menderita, makanya dia menahannya sendirian, itulah yang di lakukan oleh bu Sali.
“Maafin ibu Rum....” kata bu Sali lirih
Bagi Rumi pulang ke kampung halamannya adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan, karena saat kalian sudah merasa sangat letih dan tidak tahu harus kemana, rumah adalah tempat terbaik untuk pulang. Dan bagi Rumi hanya satu kata yang bisa membuatnya bahagia, yaitu 
“Bapak bangga sama kamu Rum...”
Dan kata itu belum sama sekali dia dengar dari bapaknya, orang yang selama ini dia hormati dan sayangi. Walaupun bapaknya sering berkata keras kepadanya, tidak pernah sekalipun Rumi membantahnya, dia selalu mengiyakan dan melakukan apapun yang bapaknya inginkan. Namun dia sama sekali tidak pernah mendapat pujian apapun, setidaknya ucapan penyemangat, itupun juga tidak ada. Sepanjang hidupnya Rumi hanya menelan pil pahit dari bapaknya, tanpa penawar.


Part 3, Manusia Memang Terlahir Tidak Sempurna
Pagi itu seperti biasa, Rumi membantu ibunya memasak dan menyiapakan kebutuhan sehari-hari di dapur. Bapak Rumi sedang membaca berita di koran langganannya di teras depan rumah sambil menikmati secangkir kopi dan juga singkong goreng. Rumi berjalan dari arah dapur menuju teras depan rumahnya untuk menghampiri bapaknya. Sesekali ia tampak menghela nafas panjang sambil melangkahkan kakinya ke depan untuk bertemu dengan bapaknya.
“Bapak...” panggil Rumi
Sosok lelaki dengan usia yang sudah memasuki 60 tahun itu menoleh kearah Rumi, parasnya sudah terlihat termakan usia, namun masih ada sisa-sia ketampanan di masa mudanya, dia memiliki kumis tipis di atas bibirnya serta mata yang terbilang cukup indah untuk di pandang. 
“Bapak ada waktu..? Rumi mau ngomong...” kata Rumi seraya duduk di kursi sebelah bapaknya
“Ada apa Rum...” tanya bapaknya sambil meletakkan korannya
“Gini pak...Rum mau nyoba buka usaha pak di rumah...” kata Rumi dengan mencoba menata nada serta nafasnya untuk berbicara dengan bapaknya itu.
“Memangnya kamu mau usaha apa Rum di rumah..??” tanya Pak Gik sambil menyeruput kopi dari cangkirnya.
Rumi terdiam sejenak, dan mencoba menata kalimatnya sebelum menjawab pertanyaan dari bapaknya itu. Dia memiliki ketakutan sendiri saat ini, dia takut untuk menyatakan perasaannya, dia takut bermimpi, dia juga takut di tolak oleh bapaknya, dan masih banyak lagi ketakutan yang tertimbun di benak Rumi saat ini. Dia benar-benar harus extra hati-hati dalam mengucapkan keinginannya kepada bapaknya itu, karena sudah berkali-kali dia gagal mengutarakan apa yang sebenarnya dia inginkan.
“Rumi mau coba membuka kafe pak...disini kan masih belum banyak yang buka kafe...” jawab Rumi dengan bibir bergetar, dia sungguh ketakutan, batinnya yang merasakan ketakutan yang amat sangat.
Sekarang giliran Pak Gik yang terdiam, dia memandang kedua mata putrinya itu, dia melihat kedua mata putrinya bergetar ketakutan saat berbicara seperti ini kepadanya. Pak Gik menghela nafasnya lalu dia memegang pundak putrinya itu.
“Rum mau buka di mana memangnya kafenya..?” tanya Pak Gik lagi
“Sementara di samping rumah dulu pak, kecil-kecilan dulu, di deket toko percetakan Rendra, kan ada bekas gudang punya bapak yang enggak di pakai, itu mau Rum gunakan...” jawab Rumi kemudian
“Baiklah kalau itu maunya Rum...bapak bisa bantu apa Rum...?” kata Pak Gik kemudian
Raut wajah Rumi yang dari tadi muram berubah menjadi sumringah lagi, dia tersenyum memandang bapaknya. Mata Rumi yang sedari tadi terlihat ketakutan sekarang berubah menjadi berbinar-binar bahagia, dan Pak Gik pun tersenyum melihat putrinya itu.
“Bapak bantu doa Rumi aja, biar usaha Rumi lancar pak...” jawab Rumi bahagia
“Kamu gak butuh modal...?kalau butuh bilang ke bapak ya, bapak siap bantu...” tambah Pak Gik lagi
“Iya pak, nanti pasti Rumi bilang ke bapak kalau Rumi butuh sesuatu...makasih ya pak...” lanjut Rumi sambil tersenyum lebar
“Iya sama-sama...kamu harus yang sabar ya...orang jualan itu butuh kesabaran dan juga keuletan, jangan mudah menyerah...kalau ada apa-apa kasih tahu bapak..”
“Iya pak...Rumi ke dapur lagi ya pak mau bantuin ibu...”
“Iya...”
Rumi berjalan meninggalkan teras rumah dan juga bapaknya, dia berjalan kembali ke arah dapur. Dan kali ini di berjalan sangat ringan rasanya, dia terlihat tersenyum bahagia di setiap langkahnya. Di dalam benak Rumi sekarang adalah ‘akhirnya bapak tidak menolak mimpinya’ itulah yang ada di fikiran Rumi saat ini.
“Idihhhh kakak happy banget kayaknya...” kata Rendra sambil muncul dari balik pintu kamarnya
“Astaugfirullah...kamu Ren bikin kaget aja...” jawab Rumi kaget saat adiknya muncul tiba-tiba dari kamarnya
“Kenapa kak..? ada apa kak...? cerita dong sama aku...” desak Rendra
“Ihhh kamu kepo...udah ah..sana mandi...emangnya kamu gak buka toko hari ini...??” kata Rumi mengalihkan pembicaraan
“Buka dong...tapi tunggu dulu....apaan sih kak??kok kakak kelihatan bahagia banget...mau nikah ya...??” 
“Yee...ngawur aja kamu...” kata Rumi sambil menoyor kepala Rendra
“Ihh...seriusan kakak ini bikin orang penasaran aja...” kata Rendra dengan nada sedikit kesal
“Udah ah...kakak mau bantu ibu dulu...daaaaa...” jawab Rumi sambil beranjak pergi dari hadapan Rendra.
“Kakkkk....” teriak Rendra sambil berjalan mengikuti Rumi
Sesampainya di dapur, Rumi menceritakan tentang pembicaraannya dengan bapaknya tadi di teras rumah dengan ibunya. Bu Sali terlihat bahagia melihat senyum bahagia putrinya itu, namun disamping itu dia juga ada sedikit ketakutan kalau senyum itu tidak akan selamanya menetap di wajah putrinya itu. Namun apapun yang akan terjadi kedepannya, bu Sali berjanji akan berada di pihak Rumi dan dia tidak akan membiarkan putrinya mengalami hal yang sama secara berulang-ulang di sepanjang hidupnya. 
“Syukur Allhamdulliah Rum kalau bapakmu setuju sama impian kamu...” kata Bu Sali bahagia
“Wah...kakak jadi beneran buka kafe??asssiiikkk bisa nobar bareng temen-temen aku di kafe kakak...” celetuk Rendra yang juga dari tadi ikut nimbrung pembicaraan Rumi dan Bu Sali
“Iya bu...Rumi juga gak nyangka kalau bapak bakalan terima keinginan Rumi, Rumi seneng banget bu...” kata Rumi dengan bahagia
“Iya Rum...sekarang tinggal kamu yang memulainya ya, ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu dan semoga apa yang kamu inginkan menjadi kenyataan dan juga usaha apapun yang kamu lakukan lancar dan berkah...amin...” kata Bu Sali
“Amin....” jawab Rumi dan Rendra berbarengan
“Ihhh kok kamu ikut-ikutan sih...” celetuk Rumi ke Rendra
“Lha ya gak apa-apa toh kak...kan namanya mengaminin doa itu kalau semakin banyak semakin terjabah...” jawab Rendra
Rumi tersenyum mendengar kata-kata Rendra barusan, dan hari itu dia benar-benar bahagia kalau dia bisa mewujudkan salah satu mimpinya. 
“Eonnniiii...I did it...!!” seru Rumi lewat telfon
“What...?? what are you did Rum..?” tanya Poppy sedikit bingung
“Bapak dukung aku buat buka kafe eonni...bahkan bapak juga mau kasih aku modal...I really happy now...really really...happy...” kata Rumi penuh dengan kebahagian
“Congratulation dear...you did it...I pround of you....” kata Poppy lagi dengan penuh bahagia juga
“Aku bener-bener gak nyangka kalau bapak beneran bakal accept my opinion to open the cafe eonni...I really unbelievable eonni...”
“Tuh kan apa aku bilang...selama kamu berani untuk ungkapin apapun yang kamu inginkan, Insa Allah pasti ada jalan...and now how to make it right?! Your dream come true dear...I really happy for this...” kata Poppy lagi
“Iya eonni Allhamdulliah...thanks God for everything...and now time to work eonni...”
“Okai...don’t forget to keep prying and still in Allah okay....”
“I remember that eonni...see you...I love you...” kata Rumi lagi
“Okay see you...love you too...” jawab Poppy kemudian sambil menutup telfonnya.
Keesokan harinya Rumi memulai mendekorasi gudang tempat bapaknya menyimpan barang-barang bekas di rumahnya menjadi kafe yang dia inginkan. Dia di bantu Rendra dan juga Pak To merombak gudang yang berukuran 5x5 m itu menjadi mini kafe impian Rumi. Sekitar dua mingguan Rumi dan di bantu Rendra dengan Pak To merubah gudang itu menjadi mini kafe, mulai dari mengecat tembok, mengeluarkan semua barang bekas di dalamnya, membeli beberapa perlengkapan seperti kursi dan meja serta peralatan di dalamnya. Rumi mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh dan dia sangat bahagia dengan itu dia merasa kalau ini adalah awal baru untuk hidupnya.
Gudang itu sudah terlihat bersih dan sebagian barang sudah mulai di tata oleh Rumi di dalamnya, tidak lupa Rumi menambahkan beberapa ornamen untuk menarik perhatian pengunjung, dia terlihat sangat bersemangat. Dan tibalah hari itu, hari seperti mimpi Rumi pada sebelumnya, memang manusia itu gampang sekali berubah. Hari itu Pak Gik meminta Rumi untuk merubah design mini kafenya, Rumi beserta Rendra dan Pak To tercengang mendengarnya.
“Maksud bapak bagaimana...?” tanya Rumi dengan nada sesak di dadanya
“Gini lho Rum...masak kamu gak ngerti juga, ini itu di desa, kalau kamu bentuknya seperti ini mana ada yang mau mampir kesini, mereka akan takut karena yang model seperti ini pasti mahal-mahal harganya, disini orang-orang itu milih murahnya bukan hiasannya seperti ini..” jelas Pak Gik
“Tapi pak...Rumi mau bikin yang beda sama yang lain supaya banyak yang tertarik mau nyoba pak...” elak Rumi tapi dengan suara yang bergetar
“Lha...nyoba...disini ini banyak orang yang kerjanya di sawah, ngapain mereka nyoba makanan di tempat seperti ini...udah di bikin lesehan aja gitu biar banyak yang kesini...” jelas Pak Gik
“Tapi pak...” 
“Kamu ini di bilangin kok bandel sih...udah Pak To bongkar yang ini, di jadiin lesehan kayak angkringan depan gak barokah sana....iya...udah bapak mau ke kelurahan dulu...” kata Pak Gik lalu berjalan meninggalkan Rumi beserta Rendra dan pak To yang terdiam membeku karena kata-katanya
Sebenarnya siang itu tidak mendung dan juga tidak ada hujan, tapi tidak tahu kenapa tubuh Rumi seakan-akan tersambar petir. Rendra menghampiri kakaknya dan menepuk-nepuk pundaknya, seakan mengisyaratkan kakaknya untuk tetap bersabar. Pak To yang melihat kejadian itu menjadi tahu kenapa di sepanjang perjalanan kemarin Rumi terlihat banyak sekali yang dia pikirkan, ternyata inilah jawabannya.
“Non...ini jadinya bagaimana...?” tanya Pak To lirih
“Nanti dulu ya pak..gimana kalau kita istirahat dulu makan siang gitu...” jawab Rendra mewakili Rumi
“Iya Den Rendra...”
“Mari pak makan dulu...” ajak Rendra “Ayo kak..kakak juga perlu makan...” bisik Rendra ke Rumi
Rendra dan Pak To berjalan beriringan keluar dari pintu gudang, sesaat sebelum mereka sampai di luar gudang Rumi berbicara
“Pak To...” panggil Rumi
Pak To dan Rendra menoleh ke arah Rumi, saat itu di benak Rendra dia melihat kakaknya seperti 9 tahun yang lalu saat pertama kali mau berangkat ke kota untuk bekerja disana. Wajah Rumi sangat pucat, pandangannya kosong seperti manusia tetapi tidak memiliki jiwa.
“Iya Non...” jawab Pak To
“Setelah makan nanti, tolong rombak ini semua ya pak, jadikan lesehan seperti permintaan bapak...” jawab Rumi kemudian masih dengan pandangan kosong
“Kak...” elak Rendra
“Maaf ya pak Rumi merepotkan bapak...mari kita makan dulu ya...” kata Rumi kemudian berjalan melewati Rendra dan Pak To
“Kak...tapi kak...”
“Udah Den...biarin Non sendirian dulu...Non Rumi butuh menenangkan pikirannya sekarang...” cegah Pak To
Rendra memandang sendu punggung kakaknya yang berjalan menjauhinya dan Pak To, dalam ingatan Rendra kakaknya sama sekali tidak pernah menolak permintaan bapaknya. Berkali-kali Rendra juga melihat kakaknya kehilangan peluangnya mewujudkan impiannya, dan berkali-kali pula dia melihat kakaknya menangis sendirian. Walaupun hati Rendra juga sakit merasakan kesedihan kakaknya, namun dia sendiri juga tidak bisa berbuat banyak untuk kakaknya. Karena dia sendiri juga tidak bisa menolak permintaan bapaknya, berulang kali Rendra juga sama seperti Rumi, dia kehilangan impiannya. Tapi menurut Rendra bapaknya terkadang masih memberikan kelonggaran untuk Rendra di banding kakaknya, kadang dia berfikir mungkin karena Rendra seorang pria makanya ayahnya lebih menyayanginya, namun bisa juga tidak karena jujur baik Rumi ataupun Rendra tidak tahu apa yang sebenarnya bapak mereka pikirkan. Sedari kecil bapaknya selalu menyetir kehidupan mereka berdua, bahkan pada saat Rumi memutuskan untuk berhijab itupun melewati beberapa kali persetujuan sampai pada akhirnya disetujui, padahal keputusan yang Rumi buat itu sebenarnya adalah baik dan memang di agama Islam bagi perempuan memang wajib berhijab, namun itu perlu waktu untuk bisa mewujudkannya. Bahkan Rumi nekat memakainya dan mendapat pandangan sinis dari bapaknya selama beberapa bulan, lalu pada akhirnya bapaknya terbuka dan menerima perubahan Rumi itu.
“Bapakmu bilang begitu tadi...???” tanya Bu Sali kepada Rendra
“Iya bu...kakak sampai gak bisa berkata apa-apa, padahal ibu tahu sendiri kan gimana kakak sampai gak tidur untuk mikirin konsep kafenya itu, nah sekarang bapak malah minta rombak dan di bikin seperti angkringan di depan gang barokah sana...itu kan bukan kafe bu tapi warung kopi alias warkop...susah ngerti aku sama pemikiran bapak ini..” jalas Rendra dengan nada kesal
Bu Sali kembali terdiam mendengar penjelasan dari Rendra, dan apa yang dia takutkan akhirnya terjadi lagi. Pak Gik bukanlah sosok yang gampang berubah, dia adalah orang teregois yang pernah di temuinya selama hidupnya. Namun bagaimanapun peringai suaminya itu, dia tetaplah seorang istri, dan dia juga seorang ibu dari anak-anaknya, hanya kepahitan yang dia rasakan saat dia mendengar cerita dari Rendra.
“Terus kakakmu bagaimana...?” tanya Bu Sali
“Iya ibu masak gak tahu kakak, iya pasti nurut sama bapak lah bu...dia bilang sama pak To buat rombak nanti sehabis makan siang...gak tau lagi Rendra bu...aku yakin kak Rum pasti sekarang lagi sedih banget...” kata Rendra lalu kembali memasuki ruang tengah dan menuju kamarnya.
Bu Sali memandang kamar Rumi yang tertutup rapat, dan dia bisa membayangkan kalau putrinya sekarang sedang duduk terpaku di tempat tidurnya sambil menitihkan air mata dan juga merasa kalau dunianya sudah runtuh. Tidak ada yang bisa dia perbuat lagi, menenagkan putrinyapun juga tidak bisa, hatinya sekarang sama sakitnya dengan putrinya itu. Beberapa menit kemudian pintu kamar Rumi terbuka, dan Bu Sali yang mendengarnya langsung bergegas menghampiri putrinya.
“Rum...kamu gak apa-apa kan...?” tanya Bu Sali
“Enggak apa-apa kok bu...” jawab Rumi disertai senyuman masam
“Beneran kamu gak apa-apa...ibu khawatir Rum...bapakmu memang begitu sukanya memang sering dadakan gitu, kamu yang sabar ya, nanti coba di bicarakan lagi mudah-mudahan bapakmu mau ngerti Rum, nanti ibu bantuin ngomong ke bapakmu..” kata Bu Sali
Rumi tersenyum dan memandang mata ibunya yang sudah mulai berkaca-kaca saat melihatnya. Dan Rumi memahami betul bagaimana perasaan ibunya saat itu, karena ini bukan untuk yang pertama kalinya.
“Sungguh bu Rumi tidak apa-apa, bapak benar bu...mini kafe yang Rumi rancang emang gayanya terlalu kota kalau di pakai disini, dan Rumi juga lupa kalau sekarang Rumi tidak sedang berada di kota melainkan di desa memang harus mengikuti konsep disini bu...beneran bu Rumi gak apa-apa..” jawab Rumi menyakinkan ibunya
Bu Sali berusaha memahami perkataan putrinya itu, dan dia lagi-lagi harus menelan pil pahit setelah melihat Rumi kembali gagal mewujudkan impiannya.
“Beneran Rum kamu gak apa-apa....?” tanya Bu Sali sekali lagi
“Iya bu...” jawab Rumi
Rumi lalu tersenyum dan dia berjalan keluar menuju gudang di samping rumahnya, untuk kembali menata mini kafenya. Setibanya disana Rumi melihat Pak To mengeluarkan beberapa meja dan juga kursi dari gudang, dan Rumi pun langsung menghampirinya sambil membantu Pak To.
“Non...yang sabar ya...non harus tetep semangat, yang penting usaha dulu non, biar Allah nanti yang kasih jalan...” kata Pak To
Rumi hanya tersenyum menaggapi kata-kata Pak To itu, dan dia menatap Pak To yang benar-benar penuh keikhlasan saat berbicara dengannya. Dia juga ingat kalau Pak To menghabiskan masa mudanya di keluarganya, Pak To tidak punya sanak saudara, sejak kecil ikut kakeknya, dan setelah kakeknya Rumi meninggal yaitu ayahnya Pak Gik, Pak To ikut bapaknya dan selalu menemani dia dan juga Rendra semasa kecilnya. Awalnya Pak To tinggal di rumah Rumi, namun setelah menikah dia tinggal di rumah belakang pekarangan rumah Rumi.
“Iya pak amin...makasih ya Pak...Pak To selalu dukung Rumi...” kata Rumi
“Iya Non...Pak To bangga sama non...non ini orangnya baik, berbakti sama orang tua, pinter, cantik lagi...hehehehe...” kata pak To memuji
“Waduh pak...jadi gede kepala Rumi, ntar gak bisa masuk ke gudang lho ini...” jawab Rumi disertai senyuman Rumi dan Pak To
Saat itu Rumi bersyukur masih banyak orang yang menyayanginya dan juga mendukungnya, dia menjadi terinspirasi untuk tetap tegar dan menetapkan langkahnya. Dia pun berniat untuk memajukan kafe mininya, walaupun dengan bentuk seadanya dia yakin jika banyak yang mendoakan dan mendukungnya pasti dia bisa mewujudkan impiannya. Manusia memang tidak terlahir dengan kesempurnaan, namun dengan keterbatasan.
Part 4, Kepingan yang Mulai Hancur
Hari itu tepat sebulan persiapan mini kafe Rumi, dan hari itu Rumi resmi membukanya walaupun dengan peralatan seadanya tetapi Rumi optimis akan usahanya kali ini, dia ingin membuktikan bahwa dia bisa menggapai impiannya. Rumi memberi nama kafe itu dengan nama ‘KAFEIN’ sekilas terdengar seperti kafein yang ada di kopi, tapi maksud sebenarnya adalah ‘Kafe’ dan ‘In’ yang berarti masuk, jadi artinya mari masuk ke kafe ini, iya lebih tepatnya seperti itulah. Awalnya Rumi mau membuat mini bar di depan kafe supaya seperti outlet-outlet minuman cincau di jalan-jalan, namun karena semua konsepnya di tolak, maka dia tidak bisa meletakkan mini bar disana. Mini kafe Rumi dengan ukuran 5x5 m itu berbentuk biasa, dengan etalase kecil dan meja untuk menyiapkan pesannan, etalase itu diisi dengan minuman kopi sachet dan juga beberapa makanan kecil lainnya, tidak ada yang spesial di mini kafe Rumi, namun Rumi tetap tidak patah semangat.
Dan hari ini adalah hari pertama buka, Rumi berniat membagikan sample minuman dan makanan yang dia buat, seperti jus buah, es kopi, sosis bakar dan lain-lain. Namun lagi-lagi bapaknya tidak mengiyakan ide Rumi.
“Kamu ini kan niat jualan, kalau kamu bagi-bagi gitu ya belum untung sudah buntung kamu Rum...” elak bapaknya
Rumi menghela nafas, dan dia juga sebenarnya sudah malas menaggapi bapaknya yang memiliki kepala batu itu.
“Iya Rumi tau pak...tapi kan Rumi juga gak banyak baginya hanya ke sebagian orang aja, minim ke tetangga lah pak, biar mereka tau Rumi jual apa aja kan juga buat menarik pengunjung pak, gak apa-apa kita investasi dulu dengan cara ya bagi makanan seperti ini...” jawab Rumi
“Anak di bilangin malah ngebantah...ya udah terserah kamu, kalau kamu rugi bapak gak mau tanggung jawab ya...” kata Pak Gik sambil berjalan meninggalkan Rumi di kafe nya
Rumi menatap sendu punggung bapaknya yang berpaling darinya, entah sudah berapa kali dia memandangnya dan juga sudah berapa kali bapaknya memalingkan diri darinya, Rumi sendiri sudah enggan untuk menghitungnya karena dia juga sudah lelah menghadapinya.
“Sabar ya kak...” kata Rendra sambil menepuk punggung Rumi
Rumi hanya mengangguk dan dia tersenyum masam memandang wajah adiknya yang juga sedang berusaha tersenyum untuknya. Dan hari itu Rumi tetap memberikan beberapa makanan dan minuman ke tetangga sekitar sambil dia promosi. Rendra juga membuatkan brosur untuk Rumi bisa bagikan juga kejalan dan juga ke tetangganya. Hari itu lumayan terbayarkan, kafenya lumayan banyak yang datang untuk membeli makanan dan minuman, Rumi terlihat begitu antusias dan bahagia. Bu Sali hari itu juga ikut membantu putrinya itu, dia juga ikut bahagia saat melihat putrinya juga tersenyum bahagia.
“Enak lho Rum masakanmu....” kata Bu Puji salah satu tetangga Rumi
“Makasih bu...jadi langganan lho ya...” jawab Rumi disertai senyuman
“Walah...iya pasti...wong cuma lima langkah dari rumah...” timpal Bu Puji sambil tertawa
Rumi tersenyum bahagia mendengarnya, di dalam batinnya akhirnya semua usahanya sekarang bisa terlihat, ada setitik cahaya di semua sisi gelapnya selama ini. Malam itu kafe Rumi tutup lumayan malam sekitar jam setengah sebelas malam, dan lumayan banyak pembelinya. Rumi dan Rendra terlihat sibuk menata tempat mereka masing-masing, Rendra menutup tempat percetakannya dan Rumi menutup kafenya.
“Kak...gimana hari ini...??” tanya Rendra sambil berjalan menuju Rumi yang terlihat sedang menutup pintu kafenya
“Allhamdulliah Ndra hari ini lancar...semoga kedepannya terus seperti ini... “ jawab Rumi dengan senyuman di bibirnya
“Amin.... biar kakak bisa ke Korea...hahahaha” celetuk Rendra
“Ihhhh...umroh dulu lah...ke Koreanya kalau honeymoon lah...” jawab Rumi sambil berjalan meninggalkan Rendra
“Yeee...emang sama siapa nikahnya...nyari calonnya dulu kak baru rencana honeymoon...” kata Rendra sambil berjalan mengikuti kakaknya
“Adalah nanti pasti ada...”
“Jangan-jangan jodoh kakak masih umur 5 tahun kali ya....hahahaha...” kata Rendra sambil berlari meninggalkan Rumi
“Ihhhh kamu dasar adik kurang ajar....” teriak Rumi sambil berlari juga mengejar Rendra
Malam itu sepertinya beban Rumi sedikit terangkat karena kafenya lumayan banyak pengunjung dan dia pun senang banyak orang yang mendukungnya. Walaupun sebenarnya dia masih ada perasaan mengganjal karena kata-kata bapaknya tadi siang, namun bagaimanapun juga itulah watak bapaknya, memang susah untuk di rubah dan satu-satunya cara hanyalah dengan membuktikan kalau dia bisa menjadi sukses dengan caranya sendiri.
“How are you today....??” tanya Poppy lewat chat
“Allhamdulliah I’m glad today Eonni...” jawab Rumi
“Gimana kafenya...berjalan lancar usaha hari ini..?” 
“Allhamdulliah eonni banyak yang beli dan laris hari ini, mungkin karena baru pertama buka kali ya...tapi semoga kedepannya tambah laris dan banyak juga yang beli...” cerita Rumi dengan antusias
“Allhamdulliah...I’m happy too you....congrats ya dear...aku beneran bangga sama kamu, semoga semua yang kamu usahakan lancar ya...ntar aku maen kesana deh kalau habis lahiran dan babynya udah gedean...syukur-syukur pas kamu nikahan...hahahaha...” kata Poppy
“Hahaha...iya Eonni thank you so much you’re best deh...iya janji ya datang pas aku nikahan..”
“Of course lah aku datang Rum...aku bakal nginep sana lama bantuin kamu, kan kamu juga gitu pas aku nikahan dulu, kan kita janji buat saling ada di manapun dan kapanpun iya kan...kamu jangan lupa kalau kamu masih punya aku, kalau kamu ngrasa sendirian bilang sama aku ya aku bakal temenin walaupun lewat chat...” kata Poppy
Rumi tersenyum memandang chat dari Poppy, dia tahu betul sahabatnya itu sangat perhatian dengannya. Saat Rumi di titik terendahnya pun Poppy senantiasa berada di sampingnya, tetap terus memberikan semangat kepadanya, begitupun sebaliknya. Poppy dan dia sudah mengalami banyak hal, mereka juga pernah bertengkar, selisih paham dan bahkan saling menyakiti satu sama lain, namun itulah sahabat. Semakin banyak kikiran di batu, maka akan semakin bagus batu itu, persahabatan juga begitu, semakin banyak ujian yang menimpa persahabatan akan semakin langgeng hubungan persahabatan itu.
“Yeah I rememmber that...but...I don’t have a boyfriend, so how to get married...??” canda Rumi
“Who knows...maybe today on the way...did you still wait a prince with a white horse...??”
“No...I’m wait someone with a white car...hahahahaha...”
“Holly shit...hahahah...”
Begitulah, malam itu akhirnya Rumi terlelap setelah berbalas chat dengan Poppy, dia terlelap dengan bahagia hari itu. Poppy selalu memberikan dukungan penuh dengannya, mungkin jika tidak ada Poppy, Rumi sudah lama mengakhiri hidupnya dan pasrah dengan keadaannya yang miris. Nasehat Poppy yang selalu diingatnya..
“Kalau kamu merasa sudah gak mampu, berhenti Rum, ambil nafas, ingat Allah, bertahanlah sebentar lagi, bertahanlah untuk aku, untuk keluarga kamu, untuk teman-teman yang sayang kamu, untuk jodoh kamu yang masih di jalan, atau untuk hal kecil yang buat kamu bahagia, misal drama atau lagu kesukaan kamu, apapun yang bikin kamu happy, please jangan pilih untuk meninggalkan dunia ini yah....”
Begitulah pesan Poppy kepada Rumi, saat itu Rumi sudah menemui jalan buntu dalam hidupnya, banyak masalah dan dia sendiri tidak tahu harus memulai menyelesaikannya dari mana. Yang ada di benaknya saat itu adalah menghilang dari dunia ini, namun berkat Poppy dia mengurungkan niatnya, di matanya terbayang bagaimana terpukulnya ibunya saat tahu dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Rumi sebenarnya sudah menjadi sebuah kepingan, dan kepingan itu perlahan-lahan disatukan kembali oleh Poppy, karerna Poppy lah yang membuat Rumi sadar kalau dunia ini sangat sayang untuk di tinggalkan.
Seperti pagi biasanya, Rumi sudah bersiap membuka kafenya, dia menyiapkan bahan-bahan dan juga peralatannya. Dan sekitar jam 10 an kafenya sudah dia buka, dia menunggu pembeli datang sambil mendengarkan musik dan juga mengatur beberapa ornamen yang baru saja dia beli dari online shop. Tidak lama kemudian ada pembeli datang, dua orang laki-laki, yang satu berumur sekitar akhir 30 tahun menuju 40 tahun dan yang satunya kira-kira seumuran dengannya. Mereka memesan beberapa minuman dan makanan, dan Rumi melayani mereka dengan baik. Tidak terlintas apapun di benak Rumi tentang kedatangan dua orang laki-laki itu, karena jujur Rumi sendiri tidak tahu darimana asal laki-laki itu karena dia tidak pernah melihat mereka sebelumnya.
Sekitar 30 menit mereka di kafe Rumi, sambil mengobrol dan sesekali salah satu dari mereka mencuri pandang terhadap Rumi. Rumi sadar akan hal itu, karena dia orangnya sangat peka, namun karena Rumi sudah sangat malas menanggapi hal seperti ini makanya dia memilih untuk diam. Dia bergumam dalam hati.
“Iya beginilah resiko punya tempat makan, entah kafe, angkringan, atau warkop pasti akan di godain, entah di goda secara verbal, atau lewat mata seperti ini...” gumam Rumi.
Tidak beberapa lama kemudian mereka akhirnya pergi meninggalkan kafe Rumi, dan Rumi bisa bernafas lega karena mereka sudah pergi. Dia kembali melanjutkan aktifitasnya di kafe, dan hari itu pengunjungnya tidak seramai pada hari pertama buka, tapi cukup untuk balik modal hari itu saja. Apapun itu Rumi sangat bersyukur, karena memang semua itu butuh proses, tidak mungkin berlian langsung bisa di jual tanpa melewati proses pemotongan, pengkikiran dan lain-lain sampai pada akhirnya bisa di pasang di tempat yang terindah. Begitulah filosofi Rumi pada saat itu, dia yakin kalau dia mau terus berusaha dan berikhtiar Allah akan memberikan apa yang dia inginkan.
Malam itu Rumi masih di kafenya, lalu Pak Gik datang bersama lima orang ke kafenya, dan sekilas Rumi seperti tidak asing dengan dua orang yang datang bersama ayahnya itu. Keadaan kafe Rumi saat itu masih sepi karena suasanya masih habis magrib, jadi kebanyakan orang masih ada di dalam rumah.
“Siapa itu pak...?” bisik Rumi kepada ayahnya yang berada di sampingnya
Pak Gik memandang putrinya sambil mengerutkan keningnya, seolah memberi isyarat kalau Rumi harus diam. Kelima orang tadi terdiri dari dua wanita dan tiga orang pria, dan dua diantaranya adalah lelaki yang datang ke kafe Rumi tadi siang.
“Ada apa ini...?” batin Rumi bergejolak dan mulai muncul perasaan aneh
Rumi melihat ibu dan adiknya juga menyusul ke kafenya, dan setelah semua disana salah satu orang dari kelima orang tadi berbicara kalau mau melamar Rumi. Bagai terhantam badai badan Rumi mendengarnya, Bu Sali juga terlihat sangat kaget begitu pula dengan Rendra, namun hal itu tidak terjadi dengan bapaknya, Pak Gik tampak santai dan sepertinya dia sudah merencanakan semua ini.
“Pak Waluyo ini yang punya tambak besar di desa sebrang sana lho Rum...usahanya banyak, kalau kamu nikah sama anaknya bisa buka restoran disana, iya kan nak Wahyu....?” kata Pak Gik
Dan pria di depan Rumi tersenyum malu-malu menanggapi kata-kata Pak Gik barusan, dan wajah Rumi jadi pucat pasi seakan tidak percaya kalau bapaknya akan melakukan ini kepadanya, terlebih lagi saat dia mau membangun usahanya. Mulut Rumi tertutup rapat dan tidak merespon apapun dengan keadaan ini, dia memilih untuk membungkam mulutnya.
“Bagaimana nak Rumi...setuju dengan permintaan kami untuk bisa menikah dengan Wahyu putra bapak..??” tanya pak Waluyo
Rumi menatap nanar kepada pak Waluyo, hatinya memberontak, dia tidak suka di perlakukan seperti ini, dia ingin membalikan meja di depannya, tapi disisi lain bakti sebagai anak menghalanginya untuk melakukan hal gila itu.
“Begini pak...ini kan tiba-tiba, Rumi juga sepertinya masih kaget, bagaimana kalau...”
“Udah buk...kamu ini jangan ikutan ngomong...” potong Pak Gik
Bu Sali tercekat, seakan tidak percaya suaminya akan melakukan ini kepada putri mereka satu-satunya. Mungkin memang niatnya baik, namun kalau mendadak juga terlihat sepertinya kalau Rumi ini seperti barang yang mau di jual. 
“Rumi pasti mau kok pak...” kata Pak Gik
Rumi melirik kearah bapaknya dan dia seakan tidak percaya bapaknya akan melakukan ini kepadanya. Selama hidupnya Rumi selalu menuruti semua permintaan bapaknya, meninggalkan semua mimpinya dan juga sudah melukai batinnya sendiri. Dan saat ini Rumi tidak ingin lagi begitu, tiba-tiba dia teringat kata-kata Poppy
“Jangan pernah menyerah Rum...kamu berhak berpendapat, kalau semua orang meninggalkan mu, aku gak akan pernah melakukan itu, datang padaku aku pasti memelukmu..” kata Poppy saat itu
“Maaf pak...maaf sebelumnya...” kata Rumi dengan perlahan dan dengan bibir yang bergetar
Semua mata tertuju pada Rumi, gadis yang selama ini hanya menutup mulutnya dan selalu mengiyakan perkataan bapaknya, selalu mengubur semua keinginannya kini dia bisa membuka mulutnya.
“Maaf sebelumnya, bukannya saya lancang atau bagaimana pak, bu, saya ini seorang wanita, dan juga seorang anak, saya juga seorang kakak. Saya hanya ingin mengutarakan perasaan saya saja pak, bu. Dengan sadar saya menolak pinangan ini...” kata Rumi
Dan itu membuat mata semua orang terbelak, terlebih lagi Pak Gik, dia menatap penuh amarah putrinya.
“Saya sudah mempertimbangkannya, jika bapak dan ibu memang mau melamar saya, setidaknya saya harus tahu bapak ibu serta mas Wahyu ini seperti apa. Jujur saya tidak kenal dengan mas Wahyu dan sekeluarga...” kata Rumi dengan sopan
“Kan tadi bapak sudah bilang kalau pak Waluyo ini...”
“Itu kan bapak yang kenal dengan mereka, sedangkan Rumi tidak pak...” potong Rumi
Pak Gik terlihat sangat marah ketika Rumi memotong perkataannya dan dia beranjak dari kursinya.
“Maaf pak...nanti biar saya yang bicara lagi dengan Rumi...” kata pak Gik
“Tidak perlu bicara pak, Rumi sudah memutuskan...” potong Rumi lagi
“Kamu ini...”
“Pak...ini yang mau nikah bapak atau Rumi...??” bentak Rumi
Amarah Rumi sudah pada puncaknya, selama ini dia hanya diam dan tidak pernah menolak apapun yang diinginkan oleh bapaknya. Dia menelan semua pil pahit kehidupan dan berusaha tersenyum dan menjadi anak yang berbakti, namun kali ini dia berubah menjadi Rumi yang sebenarnya, Rumi yang punya impian, dan Rumi yang ingin juga di akui keberadaannya.
“Rumi selama ini sudah menuruti semua permintaan bapak, tapi kali ini Rumi tidak bisa terima kalau sampai jodoh Rumi bapak juga yang atur, Rumi tidak mau membeli kucing dalam karung pak. Nanti kalau ada apa-apa di tengah jalan Rumi harus minta tanggung jawab ke siapa...??? ini hidup Rumi pak, Rumi mohon bapak mengerti...” kata Rumi lagi
Semua orang terdiam, termasuk Wahyu yang dari awal senyum-senyum sekarang terlihat tertunduk.
“Saya minta maaf ya pak kalau kata-kata saya tidak sopan, saya tidak marah ke bapak dan sekeluarga, saya hanya kecewa dengan bapak saya, kenapa tidak bicara dulu dengan saya, setidaknya saya ada persiapan, dan sebenarnya aturan awal dalam sebuah hubungan adalah perkenalan pak, kalau tidak ada perkenalan maka hubungan itu tidak bisa terjalin..” kata Rumi kepada pak Waluyo yang sedari tadi terdiam
“Tadi siang anak saya sudah ke sini nak Rumi, bukankah sudah berkenalan...??” tanya pak Waluyo ke Rumi
“Maaf pak, tadi siang memang ada dua orang pria datang kesini untuk membeli kopi, tetapi mereka tidak megajak ngobrol Rumi pak, jadi dengan kata lain Rumi tidak berkenalan dengan siapapun tadi siang disini...” jelas Rumi “Kalau bapak tidak percaya, disni ada CCTV bisa di lihat semua kejadian siang tadi pak...” lanjut Rumi
Keluarga pak Waluyo terdiam mendengar kata-kata Rumi, dan mereka akhirnya berpamitan kepada Pak Gik, dan dengan perasaan kecewa pak Gik melepasnya. Malam itu Pak Gik duduk di ruang tengah bersama Rumi, Bu Sali dan juga Rendra.
“Kamu benar-benar sudah bikin malu bapak Rum...” kata Pak Gik dengan nada marah
“Maaf pak kalau Rumi bikin malu bapak...tapi Rumi bener-bener kecewa dengan sikap bapak ke Rumi tadi...” jawab Rumi
“Kamu ini di bilangin malah nglunjak...kamu tahu gak masih syukur keluarga Waluyo mau nglamar kamu jadi menantunya, kamu gak ingat umur kamu ini udah berapa, mana ada pria yang mau di umur kamu segini, harusnya kamu bersyukur masih ada yang mau menerima kamu....” jelas Pak Gik
Mata Rumi terbelak mendengar perkataan bapaknya barusan , bukan hanya Rumi, Bu Sali dan Rendra pun juga ikut terbelak. Rumi tertunduk dan dia mulai menitihkan air matanya, dunianya seakan runtuh saat itu juga. Keluarga yang seharusnya bisa merangkulnya dan memberinya semangat malah memasukkan dia kedalam lubang hitam yang sangat dalam. Rumi menyeka air matanya dan perlahan bangkit dari kursinya, dia menatap bapaknya yang masih berwajah marah, serta mata yang penuh amarah kepadanya.
“Rumi minta maaf kalau Rumi sudah melukai hati bapak dan membuat bapak malu, untuk kali ini Rumi tidak bisa mengikuti kata-kata bapak dan Rumi rasa selama ini Rumi sudah cukup mengikuti semua kemauan bapak, Rumi hanya ingin hidup dengan apa yang Rumi sukai, yang Rumi gemari...” kata Rumi kali ini dengan bibir yang tidak bergetar lagi, amarahnya jauh lebih banyak daripada ketakutannya
“Kamu ini memangnya tahu apa tentang hidup, hah...selama ini bapak selalu sediakan yang terbaik buat kamu, apa-apa sudah bapak siapkan dan kamu tinggal menjalani begitu saja kamu anggap susah, memang kamu ini tidak tahu terima kasih sama orang tua...” jawab Pak Gik
“Memang Rumi tidak tahu tentang hidup ini pak, karena yang tahu hanya Allah S.W.T, segala sesuati di dunia ini Dia yang tahu. Dan Rumi juga mau bilang terima kasih sama bapak karena sudah selalu memberi yang terbaik untuk Rumi serta Rendra, namun satu hal Rumi mau tanya ke bapak, apakah bapak tahu makanan kesukaan Rumi apa? Warna kesukaan Rumi apa? Rumi punya cita-cita apa? Rumi alergi apa? Apa bapak tahu itu semua...?” kata Rumi
Pak Gik kali ini terdiam, suasana sepi dan malam itu seolah hanya suara Rumi yang terdengar disana. Kepingan itu sekarang sudah benar-benar hancur, selama ini Rumi hidup sebagai sebuah kepingan, dia sudah pecah saat cita-cita pertamanya tidak tercapai, dan selama hampir 15 tahun dia hidup sebagai kepingan, dan kali ini kepingan itupun sudah hancur.
“Rumi tahu setiap orang tua pasti ingin yang terbaik buat anaknya, mereka ingin anak mereka selalu mendapatkan yang terbai, versi mereka. Namun apakah bapak tahu apa yang Rumi inginkan? Tidak semua yang bapak kira baik itu juga bisa baik untuk Rumi, setiap manusia itu berbeda, setiap anak juga berbeda. Rumi bisa makan udang tapi Rendra tidak, Rumi bisa masuk IPA tapi Rendra tidak, kami memang sedarah, kami memang anak bapak tapi kami sesungguhnya dua orang yang berbeda, bapak gak boleh menyamakan kami.” Kata Rumi
“Kamu sekarang sudah pandai melawan bapak ya Rum...kemakan orang kota kamu...” kata bapaknya dengan nada marah
“Siapa yang suruh Rumi ke kota pak? Bapak tidak ingat...” lawan Rumi
“Ohhh jadi sekarang kamu nyalahin bapak...??”
“Mana bisa Rumi menyalahkan bapak...seandainya Rumi menolaknya saat itu apakah Rumi bisa tetap tinggal disini dan membuka usaha sesuai dengan keinginan Rumi? Rumi pikir tidak, karena sebanyak apapun waktu diulang Rumi akan tetap memilih menjadi anak yang berbakti, yang menuruti semua perkataan bapaknya, namun bapaknya sama sekali tidak pernah mengerti anaknya...karena menurutnya baik pasti baik juga untuk anaknya, padahal tidak selalu begitu keadaannya...manusia perlu merasakan jatuh dulu untuk bisa tahu bagaimana cara untuk bangun pak...dan orang harus merasakan kehilangan dulu untuk tahu betapa berharganya sesuatu itu, dan saat ini bapak mungkin sudah kehilangan Rumi untuk selama-lamanya, Rumi yang dulu sudah mati hari ini anggap saja begitu...” jawab Rumi lalu dia meninggalkan ruang tamu dan berjalan ke kamarnya.
Pak Gik tercengang mendengar kata-kata putrinya tadi, bu Sali dan Rendra yang duduk diruang tamu juga beranjank dan meninggalkan Pak Gik sendirian. Pak Gik kembali duduk dan dia kali ini termenung sambil memegang dahinya, dia mengerutkan alisnya juga. Kata-kata Rumi tadi seolah teriang di telinganya, dia sendiri juga sebenarnya paham kalau apa yang dilakukannya melukai putrinya.
“Rum...” kata Bu Sali sambil mengetuk pintu kamar Rumi
Namun tidak ada jawaban, Bu Sali sangat ketakutan kalau-kalau Rumi melakukan sesuatu hal yang salah di dalam kamarnya.
“Sudah bu, biarkan kakak istirahat dulu, dia sangat terpukul hari ini, mungkin dia butuh waktu...” kata Rendra sambil menepuk bahu ibunya
“Apa kakakmu gak apa-apa Ndra...?” tanya ibunya dengan mata berlinang air mata
“Insa Allah gak apa-apa bu..kakak orangnya kuat kok Rendra yakin dia tidak apa-apa...” kata Rendra menenagkan ibunya.
Akhirnya Bu Sali dan Rendra berjalan meninggalkan kamar Rumi yang masih tertutup rapat dan juga hening. Rumi duduk terdiam di depan cermin kamarnya, dia memandang wajahnya yang sangat berantakan, dia merasa bersalah sudah membentak bapaknya. Dia membersihkan dirinya dan mengambil air wudhu serta sholat. Kadang saat tertekan berdoa dan juga curhat dengan Allah S.W.T adalah obat yang paling mujarab, begitu Poppy mengajarkan Rumi untuk selalu bisa dekat dengan Tuhannya. Sejak kecil di lingkungan Rumi sangat minim ilmu agama, kedua orang tuanya bukanlah islam yang taat. Bahkan dulu waktu Rumi dan Rendra lahir bapaknya tidak mengadzanin mereka berdua, hal itu Rumi ketahui saat adiknya lahir, dia tanya pada tantenya kenapa bapak tidak adzan dan tantenya pun jawab kalau dari dulu tidak ada hal seperti itu di keluarga ini. Dengan kata lain keluarga Rumi hanyalah Islam KTP saja, itulah yang membuat Rumi tumbuh sebagai anak yang minim ilmu agama, dia hanya dapat pelajaran agama di sekolahnya. 
Dan saat dia bertemu Poppy, wanita yang taat agama dan juga baik inilah semua kehidupannya berubah. Rumi rajin Sholat, baik lima waktu ataupun sholat sunnah lainnya dia juga belajar membaca Al-Quran dengan baik, dan melakukan syariah islam pada umumnya. Bertemu dengan banyak tema-teman yang mengajarkan tentang agama membuat dia bahagia dan juga mulai memberanikan diri untuk menutup auratnya dan akhirnya dia melakukannya dan berusaha konsisten untuk melakukannya. Begitulah kehidupan Rumi dan keluarganya, dia tumbuh dengan tekanan dan tidak ada yang membantunya untuk keluar dari tekanan itu, saat dia bertemu Poppy dia jadi lebih punya tujuan dan juga punya pandangan untuk masa depannya, dibanding saat dia terkurung di rumahnya.
Pagi itu seperti biasa Rumi berangkat kepasar untuk keperluan kafenya, dan dia juga memasak untuk keluarganya. Dan pagi itu Rumi tampak seperti tidak terjadi apa-apa, dia tetap melontarkan senyum ke semua orang yang bertemu dengannya dan menyapanya sepetti biasanya. Bu Sali duduk di kursi makan dan memperhatikan Rumi yang masih sarapan bersama Rendra dan juga Pak Gik, mereka berempat makan bersama pagi itu.
“Rum...kamu gak apa-apa nak...?” tanya Bu Sali
Rumi memandang ibunya dan melengkungkan senyum di bibirnya sambil terus mengunyah makanannya, lalu dia hanya menjawab dengan anggukan.
“Beneran...??” lanjut Bu Sali
“Iya bu...Rumi gak apa-apa...” jawab Rumi setelah dia menelan makanannya
Selesai makan Rumi langsung ke kafenya dan membuka kafe itu seperti biasanya, dan dia juga tidak menunjukan hal-hal aneh lainnya, dia menjalani hari seperti biasanya. Bu Sali memandang putrinya dari kejauhan dan dia melihat bagaimana terlukanya putrinya sekarang, air matanyapun jatuh saat dia memandang Rumi yang sedang membersihkan kafenya.
“Maafkan ibu Rum...ibu gak bisa melakukan apa-apa buat kamu...” batin Bu Sali.
Handphone Rumi berdering, dan terlihat nama Nayla di layar handphonenya.
“Hii..Nay how are you...??” kata Rumi di telfon
“Hi Rum..I’m fine..and are you serious about last night...??” tanya Nayla kemudian
“Really serious...can you help me...??” jawab Rumi
“Yeah...maybe I can help you, but it’s so hard to do now, I must to have more a documen, can you prepare it to me first..?” 
“What do you need Nay... ? I will provide to you...” jawab Rumi
“Okay..I will sent email for you, please check it and call me back if you’re ready for that okay...??” kata Nayla
“Okay I will check...thank you Nayla...thank you so much...” kata Rumi
“You’re wellcome Rumi...but I still can’t believe you really did this...are you sure about that..?” tanya Nayla sekali lagi untuk meyakinkan Rumi
“I must do it...it’s my dream, and I will show if I can reach this...” jawab Rumi mantap.
“Okay I will help you...make sure to reply my email okay...see you..” kata Nayla
“Okay see you Nay....” jawab Rumi sambil mematikan telfonnya
Rumi menatap layar hitam handphone nya dan dia seolah memantapkan apa yang hatinya mau, karena untuk saat ini dia sudah menyerah untuk tetap berada di kubangan yang terus menerus menelannya. Kepingan itu benar-benar telah hancur.
“Wellcome Seoul...” gumam Rumi
Part 5, Bom Waktu 
Langit sangat cerah sekali hari itu di Seoul, Hannam-dong merupakan salah satu distrik di Yongsan-gu yang berada dekat sekali dengan Sungai Han. Lokasi yang tepat berseberangan dengan Gangnam tersebut merupakan distrik dengan penduduk asing yang bertujuan untuk misi diplomasi. Seperti keluarga para diplomat mau pun keluarga dari militer Amerika yang ikut suaminya bertugas di Korea Selatan. Terlihat sosok pria dengan kemeja jeans dan juga celana hitam pekat, dia berdiri tepat di samping lampu lalu lintas disana. Di tangannya memegang beberapa dokumen dan juga sebuah tas ransel hitam pekat berada di punggungnya. Sesaat lampu menyala hijau dia bergegas berlari kesebrang jalan dan menuju sebuah gedung perkantoran disana.
“Ha Joon a...” panggil seseorang
Pria dengan tinggi sekitar 180 cm itu menoleh kearah suara itu, dan dia tersenyum memandang orang yang berteriak memanggilnya barusan.
“Bujangnim...” seru Ha Joon sambil berlari kearah pria yang memanggilnya tadi
[Bujangnim = Boss/manager/ketua tim orang yang memimpin sebuah usaha]
Mereka berdua berjalan memasuki aera perkantoran di sana, dan menghilang di balik megahnya gedung-gedung tinggi disana. 
Kang Ha Joon, pria kelahiran Seoul 1987 dan dia bekerja di perusahaan interior yang bernama TAESU HOUSE. Perusaan interior itu sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu dan lumayan terkenal di daerah Hannam-dong, banyak sekali restoran, bar dan juga tempat makan disana yang menggunakan jasa perusahaan TAESU HOUSE ini. Ha Joon bekerja sebagai manager pengembangan di perusahaan itu, tugasnya sehari-hari adalah mengawasi para arsitek dan juga ikut merancang design sebuah bangunan untuk project interior setiap harinya. 
“Ha Joon hyung...oneul bappeuseyo..?” tanya Jaehyun salah satu karyawan di Taesu House
[Kak Ha Joon...hari ini sibuk..?]
“Eung...ani..wae..?” tanya Ha Joon balik
[Hemmm, tidak..kenapa..?]
“Nae chinguga sogaeting-eul chodaehaessneunde, gat-i gabsida hyung...”
[Temanku mengajak kencan buta, mari pergi kak..]
Ha Joon terbelak dan dia tersenyum mendengar kata-kata Jaehyun tadi, dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan menepuk bahu Jaehyun sambil berkata.
“Jaehyun a... neo honjaga...” jawabnya sambil berlalu pergi
[Jaehyun..kamu pergi sendiri sana..]
Jaehyun hanya memandang kecewa atas jawaban Ha Joon dan dia juga harus merelakan Ha Joon pergi meninggalkan dia sendirian. Ha Joon bukan sosok pria yang dingin, dia bahkan sangat hangat dan dekat dengan bawahannya di kantor, dia juga sering membantu para arsitek yang kesulitan menemukan ide untuk membuat design. Ha Joon merupakan lulusan seni universitas terbaik di Korea, ayahnya seorang mantan diplomat dan sekarang tinggal di Un Village daerah Hannam-dong, kawasan itu merupakan kawasan mewah disana. Ibu Ha Joon seorang pelukis, ibu Ha Joon seorang warga negara asing, yaitu Indonesia dia tinggal di Bali sekarang dan Ha Joon sering mengunjungi ibunya. Makanya tidak heran jika dia juga fasih berbicara bahasa Indonesia dengan lancar dan juga tidak asing dengan budaya Indonesia. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai, dan Ha Joon tinggal sendirian, dia tidak memilih di antara ayah dan ibunya.
Ayah Ha Joon sekarang menjadi seorang pengusaha di bidang retail makanan di Korea dan sudah menikah lagi serta memiliki anak dari pernikahannya yang baru. Hubungan Ha Joon dan ayahnya memang kurang baik, jadi Ha Joon terlihat jarang mengunjungi rumah ayahnya yang berada di daerah Un Village itu. Dia lebih dekat dengan ibunya, maka itu dia memilih seni untuk kelanjutan sekolahnya yang menghantarkan dia menjadi seperti sekarang ini. Dia punya sahabat dekat bernama Anwar, dia orang Indonesia yang tinggal satu lantai apartemen dengan Ha Joon. Anwar bekerja di kantor kedutaan di Korea dan mereka berteman sudah lama, makanya Ha Joon lebih terbiasa memakai bahasa Indonesia di bandingkan dengan bahasa Korea.
“Yah...tu ramyun...???” kata Anwar sambil menepuk bahu Ha Joon yang sedang duduk di kursi mini market.
[Ya..mie lagi...??]
“Kkamjjag-iya...” jawab Ha Joon kaget
[Ahh kaget aku..]
“Joon...disini kan ada makanan lain kenapa setiap hari harus makan mie sih...” kata Anwar sambil memakan sosis di tangannya
“Yah..ini lebih nikmat daripada nasi...” jawab Ha Joon
“Ohhh geure...”
[Ohh...masa..]
Mereka saling tersenyum, dan Ha Joon melanjutkan memakan mie dalam kemasan mangkok plastik. Anwar memandang wajah lelah Ha Joon yang sedang menyantap mie nya itu.
“Joon...kamu terlihat sangat capek...” kata Anwar sambil membuka kaleng minuman kopi di depannya
“Iya...hari ini banyak sekali pekerjaan...dan ini makan pertamaku di hari ini...makanya jangan membuatku memuntahkannya okai...” jawab Ha Joon sambil menenteng mangkok mie nya
“Aigooo...bulssanghae uri chingu....”
[Astaga kasihan sekali temanku..]
“Ahh Joon...tadi aku melihat ayahmu di kawasan Gangnam...sepertinya dia mau beli apartement disana...apakah untukmu..??” tanya Anwar
“Yah...neo michyeoss-eo...wae naya...?”
[Yah..apa kamu sudah gila...kenapa aku..?]
“Hahaha...iya mungkin aja kan kamu secara anaknya...”
“Mungkin untuk anaknya yang lain...atau mungkin istrinya yang lain...” jawab Ha Joon sambil meneguk botol bir di depannya
“Joon...ayahmu sudah tua...mungkin ini saatnya kamu memaafkan dia...dan berbaikan dengannya...” kata Anwar menasehati Ha Joon
Ha Joon tersenyum dan mengambil beberapa cumi kering di meja depannya, sambil memakannya dia memandang wajah serius Anwar.
“Memaafkan itu adalah hal yang paling sulit di lakukan namun sangat mudah di ucapkan...hah...aku sudah menyerah untuk hal seperti itu..” jawab Ha Joon
“Joon...himne...” kata Anwar sambil menyodorkan kaleng kopinya di hadapan Ha Joon
[Joon..semagat...]
“Gumapta ne chingu...” jawab Ha Joon sambil menyodorkan kaleng birnya mengenai kaleng kopi Anwar
[Terima kasih temanku...]
Mereka mengobrol di bawah payung toserba disana, sambil menikmati makan malam kecil mereka sebelum pulang ke apartement. Anwar seorang muslim, jadi Ha Joon kadang sering kesal karena tidak bisa mengajak temannya itu minum-minum untuk melepas lelahnya. Anwar lebih sering mengajak Ha Joon untuk minum kopi dari pada minum-minum dan itu kadang membuat Ha Joon susah tidur, karena kebanyakan minum kopi. Namun apapun itu mereka saling menghormati kepercayaan mereka masing-masing, baik Ha Joon maupun Anwar. Ha Joon juga sering bertanya tentang islam kepada Anwar, dan Anwar pun dengan senang hati menjelaskan kepada sahabatnya itu.
Pagi seakan datang lebih cepat hari ini, Ha Joon sudah berdiri di dekat lift kantornya sambil membawa beberapa bahan presentasi. Dan dia buru-buru masuk saat pintu lift terbuka dan langsung memencet lantai 11 dimana itu adalah kantor Taesu House. Sesampainya di kantornya, dia di panggil keruangan boss nya, Oh Taesu itu nama pemilik Taesu House. Jadi terjawablah kenapa nama perusahaan itu adalah Taesu House, karena nama pemiliknya Oh Taesu.
“Bujangnim..naleul chajgo isseubnida..?” tanya Ha Joon saat memasuki ruangan boss nya
[Boss...anda mencari saya..?]
“Ohh..deul-eowa bwa..” jawab Oh Taesu
[Oh..masuklah..]
Mata Ha Joon terbelak saat dia melihat lelaki yang duduk di depan boss nya, laki-laki yeng berusia sekitar 60 tahun itu mengenakan jas yang warnanya seragam dengan celananya, dia juga mengenakan kacamata minus yang terlihat sangat tebal. Lelaki itu tersenyum menoleh kearah Ha Joon, dan Ha Joon pun berjalan mendekat dan duduk di hadapan lelaki tadi.
“Ha Joon a...Kang Ssjangnim imida...” kata Oh Taesu mengenalkan laki-laki tadi
[Ha Joon..ini pak Kang...]
Ha Joon hanya terdiam, dan pandangannya masih memandang lelaki paruh baya tadi, sambil sesekali dia juga memperhatikan boss nya, Oh Taesu.
“Ah..ne bangapseubnida...Kang Ha Joon imida..” jawab Ha Joon
[Ahh..senang bertemu dengan anda...saya Kang Ha Joon]
“Ah..geure..bangawoyo....” Jawab Kang Moon Tae
[Ahh...senang bertemu denganmu juga..]
Ha Joon sama sekali tidak menyangka dia akan bertemu dengan ayahnya di kantornya, selama ini dia dan ayahnya sama sekali tidak pernah bertukar kabar. Bagi Ha Joon ayahnya sedang pergi jauh dan tidak akan kembali lagi kepadanya, itulah yang ada di otaknya. Umur Ha Joon baru 10 tahun saat ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai, dan mulai saat itu Ha Joon memilih tinggal dengan neneknya (ibu dari ayahnya) di Gwangju, sampai dia berumur 15 tahun. Setelah neneknya meninggal dia memutuskan untuk tinggal sendiri sampai sekarang, dan sepanjang kehidupan Ha Joon dia hanya di biayai oleh ibunya yang ada di Bali. Setelah bercerai, ibu Ha Joon yaitu Lastri memilih kembali ke Indonesia dan menetap disana. Awalnya dia berencana membawa Ha Joon juga, namun karena kondisinya Ha Joon masih kecil dan kasihan jika harus ikut dia berpindah-pindah tempat, makanya dia menitipkan Ha Joon kepada mertuanya. Hidup sebagai seniman jarang sekali menetap di satu tempat, makanya Lastri takut Ha Joon akan sengsara jika ikut dia, makanya dia memutuskan supaya Ha Joon hidup bersama neneknya di Korea.
Setelah perceraian ayah dan ibunya Ha Joon mengalami masa-masa tersulit di dalam hidupnya, maka itu dia sulit sekali percaya kepada orang. Sebab terpisahnya ayah dan ibunya adalah karena sebuah penghianatan dari sang ayah. Kang Moon Tae yang pada saat itu adalah seorang diplomat yang sangat terkenal sebagai pakar negosiasi antar perusahaan ternama kala itu. Kehidupan keluarga mereka terbilang sangat bagus untuk segi ekonomi, dan Lastri sendiri juga memiliki beberapa lukisan yang sering juga di pajang di galeri-galeri daerah Gangnam kala itu. Kang Ha Joon sendiri terlahir dengan sendok emas di tangannya, ini adalah kata kiasan di Korea sana yang berarti terlahir sebagai orang kaya, atau terlahir di keluarga yang kaya raya. Hingga pada suatu saat perpecahanpun terjadi, ayah Ha Joon yaitu Kang Moon Tae mulai mencalonkan diri sebagai wali kota di Hannam-dong. Dan latar belakang ibu Ha Joon yang hanya seorang wanita dari Indonesia dan tidak memiliki latar belakang khusus membuat ayah Ha Joon berpaling pada wanita lain agar proses pemilihannya lancar.
Kang Moon Tae mulai menjalin hubungan khusus dengan anak salah satu anggota parlemen di Korea pada saat itu. Dan itulah yang membuat keluarga Ha Joon berantakan, ibu Ha Joon sangat terpukul dan dia berkali-kali mengalami kekerasan saat ayah Ha Joon mulai gila dengan iming-iming jabatan wali kota itu. Akhirnya dengan berat hati Lastri memutuskan untuk bercerai dari Kang Moon Tae, saat itu dia tidak memiliki pekerjaan dan itu membuat hak asuh Ha Joon di pegang oleh sang ayah yaitu Kang Moon Tae. Ha Joon saat itu masih berumur 10 tahun, dan diapun tidak bisa memutuskan untuk ikut dengan siapa, di pengadilan ayahnyalah yang menang. Sekitar hampir setahun Ha Joon tinggal bersama ayah dan neneknya di daerah Un Village, namun kemudian Kang Moo Tae menikah dengan putri salah satu anggota parlemen di Korea dan dia pun mulai melupakan Ha Joon, putranya.
Nenek Ha Joon yang prihatin dengan keadaan Ha Joon akhirnya membawa Ha Joon ke Gwangju dan menetap disana sampai usia Ha Joon 15 tahun. Dan pada saat Ha Joon memasuki usia 16 tahun sang nenek meninggal dunia, Ha Joon tinggal sendirian di Gwangju dan setelah itu dia pindah lagi ke Hannam-dong dan melanjutkan sekolah disana. Dia hidup mandiri selama itu, dia bekerja serabutan sambil terus bersekolah, dia sama sekali tidak pernah menemui ayahnya semenjak dia tinggal bersama neneknya. Dan Kang Moon Tae pun juga sama sekali tidak pernah menemui Ha Joon, dia juga mengeluarkan nama Ha Joon dari kartu keluarganya, makanya Ha Joon mendaftarkan dirinya di kartu keluarga milik neneknya saat dia tinggal di Gwangju, harta benar-benar membutakan ayahnya pada saat itu.
“Timjangnim...gwaenchanayeo...??” tanya Sang Joo salah satu karyawan Ha Joon
[Pak ketua...anda tidak apa-apa..?]
Ha Joon menoleh kearah Sang Joo dan tersenyum kepadanya, Ha Joon masih memikirkan kejadian tadi saat dia bertemu dengan ayahnya di kantor boss nya.
“Ohh nan gwaenchana Sang Joo ya...” jawab Ha Joon kemudian
[Ohh aku tidak apa-apa Sang Joo..]
Dan Ha Joon pun kembali termenung di meja kerjanya, dia masih tidak habis pikir kalau dia akan bertemu dengan ayahnya. Ha Joon memang terkenal ramah dan dia juga pekerja keras, dia sama sekali tidak ada catatan buruk disepanjang karirnya. Namun di balik itu semua dia punya rahasia besar di dalam hidupnya, yaitu dia adalah anak dari ayahnya. Setelah perceraian kedua orang tuanya Kang Moon Tae tidak memasukan nama Kang Ha Joon di buku keluarganya, dengan kata lain Ha Joon sudah tidak di akui lagi oleh Kang Monn Tae. Dia menyembunyikan fakta kalau Ha Joon adalah putranya, kerena pemilihan wali kota itu yang membuat ayah Ha Joon memutuskan untuk menyembunyikan indentitas Ha Joon sebenarnya.
“Neo...geunyang sihan pogtaniyeo...” kata Kang Moon Tae saat umur Ha Joon 15 tahun 
[Kamu hanya sebuah bom waktu...]
“Ne...museun malsseum-iseyo abeoji..??” tanya Ha Joon dengan suara parau
[Ya..apa yang kamu katakan ayah..?]
Saat itu mereka berdua berdiri di depan makam nenek Ha Joon, dan saat itu Ha Joon sedang bersedih karena kehilangan neneknya. Namun ketika ayahnya datang dan hanya bilang kalau dia adalah bom waktu bagi ayahnya itu membuat hati Ha Joon semakin sedih.
“Sum-eola...teukkijima, nae nun-ap-eseo...!!” kata Kang Monn Tae sambil berlalu pergi
[Bersembunyilah...jangan sampai ketahuan di depan mataku...]
Ha Joon yang saat itu masih remaja hanya memandang pilu punggung ayahnya yang berjalan pergi meninggalkannya. Dan sejak saat itu dia sadar, kalau dia adalah sebuah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu, yang berarti jika banyak orang yang mengetahui keberadaannya sebagai putra dari Kang Moon Tae calon wali kota maka itu akan menghancurkan ayah serta dirinya sendiri. Ha Joon terdiam lama di depan makam neneknya, dia hanya bisa menangis kala itu dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Kejadian itu terasa masih beberapa hari yang lalu, di balik senyum ramah Ha Joon dia sebenarnya adalah sebuah bom waktu yang waktunya sudah lama berjalan dan tinggal menunggu untuk meledak saja. Selama ini dia beruasa bersembunyi dari semuanya, dia hidup menyendiri dan jarang berinteraksi dengan banyak orang, hanya ibunyalah satu-satunya tempat dia untuk berlindung dan merebahkan peliknya. 
Part 6, Berpamitan yang Keren
Malam itu Rumi duduk disamping ibunya, dan dia menyandarkan kepalanya di bahu ibunya sambil menatap langit.
“Ibu....dimanapun kita berada pasti bentuk bulan itu sama kan...?” tanya Rumi tiba-tiba
Bu Sali yang saat itu sedang melipat baju yang habis di jemur menghentikan aktifitasnya dan dia memandang ke langit juga.
“Tentu saja sama, karena bulan Cuma ada satu Rum...memangnya kenapa kamu nanya begitu..?” tanya Bu Sali balik
“Dulu waktu Rumi di kota dan kangen ibu, Rumi selalu memandang bulan dilangit malam, sambil bilang kalau Rumi kangen sama ibu, Rumi berharap ibu juga sama seperti Rumi pada saat itu...” jelas Rumi
Bu Sali tersenyum, lalu dia membelai lebut kepala Rumi yang bersandar di bahunya, sambil tersenyum dia berkata.
“Maafkan ibu Rum...ibu jarang liat bulan kalau malam soalnya sibuk lipet baju seperti ini...” jawab Bu Sali
“Ahhh ibu ini gak bisa di ajak romantis...” rajuk Rumi kemudian
“Hahaha...maaf...” kata Bu Sali lalu memeluk putrinya itu
Rumi ikut tersenyum, namun di balik senyumnya dia menyimpan sebuah rahasia besar yang mungkin akan merubah semua keadaan pada saat itu.
“Ibu Rumi minta maaf ya kalau Rumi belum bisa jadi anak yang baik buat ibu...” kata Rumi kemudian
“Kenapa kamu bilang begitu Rum..?” tanya Bu Sali heran
“Iya Rumi rasa Rumi selalu gak bisa memenuhi target bapak sama ibu, Rumi sepertinya selalu gagal di hidup ini bu...” kata Rumi
“Kamu gak boleh bilang gitu Rum...ibu udah cukup senang dengan semua pencapaian kamu, kamu selalu berbakti sama bapak dan ibu walaupun kamu terkadang kesulitan dengan itu semua, ibu Cuma kepingin liat kamu bahagia dan bisa benar-benar meraih semua keinginan kamu Rum...” jelas Bu Sali sambil memandang lekat-lekat putrinya.
Sekarang giliran Rumi yang tersenyum menatap ibunya, dan dia menyadari bahwa tidak ada kasih sayang yang amat sangat besar kecuali kasih sayang orang tua, apalagi kasih sayang seorang ibu.
“Makasih ya bu...” kata Rumi sambil memeluk ibunya
“Iya...” jawab Bu Sali
“Kalau nanti Rumi pergi jauh, ibu jangan lupa kalau kangen liat bulan di malam hari ya...Rumi pasti akan lihat setiap malam juga...” kata Rumi
Bu Sali melepas pelukan putrinya, dan menatap penuh tanya ke dalam mata Rumi, seakan tidak mengerti dengan perkataan putrinya itu.
“Maksud Rumi, nanti kalau Rumi udah nikah terus gak tinggal di rumah sama ibu, gitu...” jelas Rumi
Perlahan Bu Sali tersenyum dan sekarang berubah jadi tersenyum geli karena perkataan putrinya.
“Haduhhh kamu ini kebanyakan nonton drama Rum...kan sekarang udah ada telfon, bisa video call kan...kamu ini..makanya jangan terlalu lama nonton drama Korea jadi gini deh...” kata Bu Sali di sertai tawa kecilnya
“Ihhh ibu ini...sungguhan...Rumi kan juga pengen jadi romantis gitu...ibu ah dari tadi gak bisa di ajak romantis...” rajuk Rumi dengan muka cemberut
Malam itu Rumi dan Bu Sali saling bercanda di teras rumahnya sambil melipat baju yang baru kering, sambil bercerita dan tertawa bersama seolah-olah kejadian pahit beberapa hari lalu sudah tenggelam bersama dengan tawa mereka malam itu. 
Waktu menunjukan pukul 22.35 wib, dan Rumi masih memandang layar laptopnya sambil terus mengetik disana. Sesekali dia meneguk susu hangat di samping laptopnya, dia sesekali mengerutkan dahinya lalu dia kembali lagi mengetik. Rumi mulai melengkungkan senyum saat di layar laptonya tertulis.
“Rumi..I finished everything, I will sent your Visa request tomorrow, I hope it can be finished in 6 days...I will call you back when if done...” Nayla
“Thank you Nay...” batin Rumi.
Pada saat malam setelah Rumi bertengkar hebat dengan bapaknya dia mulai menyusun bucket list nya yang selama ini hanya di tempel di dinding kamarnya. Dia ingin pergi ke Korea, dia ingin sekali saja menginjakan tanah di negeri yang selalu membuat dia bahagia. Selain melihat ketampanan para laki-laki disana, Rumi banyak sekali menghabiskan waktu untuk belajar budaya Korea serta makanan disana. Dia benar-benar jatuh cinta dengan negeri gingseng itu, sehingga dia memutuskan untuk mengistirahatkan label anak berbaktinya sementara waktu dan pergi kesana. Nayla adalah salah satu teman Rumi, dia warga negara Australia yang tinggal di kota tempat Rumi bekerja dulu, dan dia juga teman Rumi saat Rumi mengikuti les di sana. Nayla dan Rumi sama-sama menyukai Korea makanya mereka sering berbicara tentang korea. Nayla sendiri bekerja di kantor kedutaan disana, jadi Nayla punya akses untuk membuatkan Rumi visa ke Korea, karena Nayla juga memiliki beberapa kenalan orang dalam di kedutaan Korea yang berada di Indonesia.
Rumi sudah mempersiapkan semuanya, seluruh tabungannya, sisa-sisa uang yang dia miliki setelah mendirikan kafenya, dan juga dia berhutang kepada Poppy juga. Namun Rumi sama sekali tidak memberi tahu siapapun tentang rencananya ini, dia tetap bungkam, dan dia hanya mau meninggalkan tempat ini sementara waktu saja. Termasuk dia tidak memberi tahu Poppy, sahabatnya. Rumi takut Poppy melarangnya dan mungkin akan menasehatinya sehingga dia tidak bisa pergi kesana, dia hanya ingin beberapa hari saja disana tidak lebih dari itu. Dan Rumi pun mulai untuk mempersiapkan semua kebutuhan dia disana, mulau guest house dan juga baju apa saja yang harus dia bawa, dia juga tidak lupa mengecek musim yang sedang berada di Korea pada saat ini. Rumi juga sudah membuat sebuah cerita serta alasan dia kepada orang tua dan juga keluarganya tentang kepergiannya.
Hari itu pagi buta Rumi mengeluarkan koper dan menaiki sepeda nya untuk ke kantor pengiriman barang, dan dia menunggu selama hampir satu jam lebih sebelum kantor itu buka. Setelah itu dia memaketkan kopernya ke alamat Rose, temannya yang ada di kota. Sebelumnya dia sudah berpesan kepada Rose kalau dia akan mengirim koper untuk tujuan dia belanja baju grosir di sana dan mau di jual di desanya nanti, Rose pun tidak curiga sedikitpun dengan alasan Rumi. Setelah itu dia juga menghubungi Poppy kalau dia akan mengunjunginya karena ada acara pernikahan temannya dulu waktu di kantor, dan meminta Poppy untuk mengijinkan Rumi tinggal selama dua hari di rumahnya selama dia di kota. Poppy pun juga tidak menaruh curiga saat Rumi memintanya demikian, dia justru sangat senang karena Rumi mau mengunjunginya.
Dan tibalah pada hari itu, hari dimana Rumi akan pergi meninggalkan keluarganya dan juga kafe yang dia bangun secara susah payah. Memang terbilang egois sikap Rumi, namun di dalam fikirannya saat itu adalah bagaimana bisa menghilangkan rasa benci kepada bapaknya itu, dan diapun memutuskan untuk rehat sejenak dan setelah dia tenang dia akan kembali lagi.
“Pak Bu..Rumi berangkat dulu ya...” kata Rumi sambil berpamitan memeluk ibunya
“Kamu Cuma dua hari kan disana...?” tanya Bu Sali
“Iya habis nikahan Jane aku pulang kok bu...gak enak dulu dia baik banget sama aku, kalau aku gak datang gak enak...” jawab Rumi
Pak Gik hanya memandang sekilas lalu masuk kedalam rumah, dan dari teras terdengar dia berbicara.
“Susah-susah bangun kafe malah ditelantarkan, kamu memang gak punya tanggung jawab..” kata Pak Gik.
Rumi yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas, kepala batu bapaknya memang sangat susah di pecahkan. Rumi hanya terdiam memandang punggung bapaknya itu, seakan hatinya pilu melihatnya. Seumur hidupnya dia hanya memandang punggung bapaknya, selama itu pula bapaknya juga tidak pernah memandangnya.
“Rumi berangkat ya Bu...” kata Rumi lagi
“Iya Rum....” jawab Bu Sali dengan pandangan sendu
Rumi melihat setitik air mata diujung mata ibunya, dia merasa ibunya sudah merasakan kalau dirinya tidak hanya akan pergi selama dua hari, namun berhari-hari. 
“Kamu pasti pulang kan Rum...??” tanya Bu Sali lagi kali ini dia sudah menitihkan air mata
Rumi berjalan mendekati ibunya lagi, dan dia memeluk ibunya dengan sangat erat, dia merasa sangat bersalah kepada ibunya saat ini, karena kebohongannya.
“Iya bu...kemana lagi Rumi harus pulang kalau tidak kesini...” jawab Rumi
“Biar Rendra yang antar kakak ke stasiun...” kata Rendra sambil menjinjing tas Rumi
“Makasih ya Ndra...” jawab Rumi
Sepanjang perjalanan Rendra hanya terdiam dan sama sekali tidak mengajak ngobrol Rumi, sesampainya di sepan pintu stasiun Rendra menurunkan tas jinjing kakaknya lalu tiba-tiba dia mengeluarkan amplop putih dari saku jaketnya.
“Apa ini Ren...??” tanya Rumi 
“Uang tabungan Rendra...” jawabnya singkat
Mata Rumi terbelak dan dia memandang adiknya yang usianya 5 tahun lebih muda darinya itu.
“Lalu kenapa kamu kasih ke kakak..?” tanya Rumi
“Buat beli oleh-oleh disana...itu juga ada uang dari ibu buat kakak...nanti sampai bandara jangan lupa buat tuker ke kurs sana...” kata Rendra lagi
Rumi tercekat, seolah tidak bisa berkata apa-apa, dia sengaja menyembunyikan semuanya, namun ternyata orang terdekatnya sudah tahu akan kepergiannya.
“Kamu tahu dari mana...?” tanya Rumi
Rendra lalu memandang Rumi dan memegang pundak kakanya itu, dia seolah tidak tega membiarkan kakanya pergi ke tempat sejauh itu sendirian.
“Rendra selalu tahu apa yang kakak pikirkan...semoga kakak bisa mencari kebahagiaan yang selama ini kakak belum temukan, kalau kakak sudah lelah bisa pulang ke rumah, jangan fikirkan kafenya, Rendra akan jaga sama ibu...kakak raihlah mimpi kakak...” kata Rendra.
Mata Rumi menitihkan air mata, dia seolah tidak percaya kalau adik yang selama ini selalu dia gendong dan bonceng setiap berangkat sekolah sekarang tumbuh menjadi lelaki yang sangat bijaksana, dimatanya saat itu. Rumi memeluk Rendra dan dia menagis di pelukan adiknya sedalam-dalamnya.
“Kakak pasti pulang kan...??” tanya Rendra dengan nada parau
“Iya kakak pasti pulang kok...Cuma 10 hari...kakak janji akan pulang sebelum uang kakak habis...” jawab Rumi.
Rendra melepas kakaknya pergi hari itu, pandangannya masih terasa sedih saat punggung Rumi menghilang diantara manusia di stasiun siang itu. Dia seolah tidak rela melepaskan kakaknya itu, namun dia juga tidak tega melihat kakaknya tertekan dengan sikap ayahnya itu. Rumi menghilah diantara manusia-manusia di stasiun itu, dan dia memasuki gerbong kereta yang akan menemani perjalannya untuk berpamitan dengan teman-temannya.
Rumi berjalan menyusuri trotoar di stasiun kota, dan di tangannya ada tas jinjing berukuran sedang dan dia sendiri membawa ransel di punggungnya. Dari kejauhan dia melihat seorang wanita dengan pakaian khas muslim, dengan rok berwarna krem dan juga outfit senada di bagian atasnya naumn bermotif bunga coklat, wanita tadi memiliki perut yang besar dan sekarang dia sedang tersenyum memandangnya.
“Rum.....” panggilnya sambil melambai ke arah Rumi
Rumi yang melihatnya membalas lambaian itu dan berjalan mendekati wanita tadi, Rumi berjalan dengan senyuman di bibirnya.
“Eonni...biar aku yang kesitu...” kata Rumi mencegah wanita tadi untuk berjalan lagi ke arahnya.
“Rumi....” katanya seraya memeluk Rumi
“Eonni...I miss you...” jawab Rumi di pelukan Poppy
“You must be hungry now right...??” tanya Poppy
“You know me so well eonni...yeah I really hungry...”
“Let’s eat first...come on...” kata Poppy sambil menarik tangan Rumi dan mereka berjalan beriringan
Sesampainya di parkir mobil, dari jauh terlihat seorang pria yang mengenakan pakaian casual berdiri di dekat mobil sedan berwarna hitam.
“Wellcome Rumi...” kata Harris suami Poppy
“Anyeong Oppa....” kata Rumi sambil melambaikan tangannya ke arah Harris
[Halo kakak...]
Pria tadi tersenyum mendengar Rumi memanggilnya Oppa, memang sejak Poppy dan Harris pacaran Rumi selalu memanggil dia dengan sebutan Oppa. Oppa adalah sebutan kakak laki-laki di Korea sana untuk perempuan, jadi jika memiliki adik perempuan maka kakak laki-lakinya di panggil dengan sebutan Oppa. 
“Kita makan di mana nie Rum...?” tanya Poppy
“Yang deket sini aja Eonni biar gak kemalaman nyampek rumah Eonni...kan Eonni juga butuh istirahat, tuh ...” kata Rumi sambil menunjuk perut besar Poppy
“Ihhh...gak apa-apa lah...si adek juga mau jalan-jalan iya kan mas...??” kata Poppy
“Iya Rum...gimana kalau kita makan lalapan ayam kesukaan kamu itu...” kata Harris
“Wahhh boleh juga Oppa...tempatnya juga gak jauh dari sini kan...boleh lah...okai Eonni...?” tanya Rumi ke Poppy
“Okai...kita kesana ya...” kata Poppy lagi
Mereka bertiga akhirnya meninggalkan stasiun dan beranjak ke sebuah tempat makan yang berjarak sekitar 800 m dari stasiun itu. Rumi, Poppy dan juga Harris mengobrol seperti biasanya sambil menyantap makan malam mereka. Malam itu Rumi menginap di rumah Poppy dan Harris yang terletak di perumahan pinggir kota. Rumi baru selesai mandi saat Poppy masuk ke kamarnya dan duduk di samping Rumi yang sedang merapikan pakaian dari tansnya.
“Are you okey dear...??” tanya Poppy
“Hemm..I’m okai Eonni...” jawab Rumi
“Really...you’re not trying to lie to me right..?”
“Of course not Eonni..why I do that..??”
“Okay I will trust you now...tell me how about your cafe...??everything it’s okay..??”
“Yeah...everything it’s okay eonni...don’t worry about that..Rendra helping me so well...”
“Really...Rendra...???hemmm he must to be adult now right...?”
“I guess so...”
Rumi dan Poppy mengobrol cukup lama, dan kemudian Poppy kembali kekamarnya untuk beristirahat, sedangkan Rumi sekarang duduk termenung di ruang tengah rumah Poppy. Di depanya ada selembar keras putih dan di tangan Rumi ada sebuah bulpoin warna hitam, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu dan menggerakkan tangannya dengan sangat pelan dan penuh kehati-hatian. Rumi sesekali menghela nafas panjang sesaat setelah menggoreskan penanya ke dalam kertas itu. Dia tampak seperti sedang menulis pesan perpisahan untuk sahabatnya, Poppy.

Keesokan harinya Rumi menemani Poppy jalan-jalan dan menjelajah dunia kuliner, seperti yang sering mereka lakukan. Hari itu mereka hanya berdua, karena Harris ada urusan mendadak di kantornya, Rumi dan juga Poppy mengelilingi mall untuk berbelanja persiapan melahirkannya Poppy. Mereka tampak sangat bahagia dan juga sering bercanda saat memilih perlengkapan bayi untuk Poppy.
“Eonni, aku masih gak menyangka Eonni beneran nikah sama Oppa...It’s very fast right...??” kata Rumi sambil menyeruput minuman di tangannya
“Ohh..it’s like a fast forward story, sometimes I still don’t believe it...hahaha...” jawab Poppy disertai tawa
“You remember that...??” kata Rumi sambil menunjuk spot makanan kuliner di depan mereka
“Yeah..I remember...”
“Di tempat itu aku nemenin Eonni kencan pertama sama Oppa...I feel like a doll, still sit and look for smile...hahahah...it’s a awkward moment right..??” kata Rumi lagi
“Yeah...I know...at the time your eyes told me everything that will happen...it’s so Funny Rum....”
Mereka saling bertatapan dan melempar senyum, Poppy mengantarkan Rumi ke sebuah apartemen, dan di depan pintu sudah erdiri Rose dengan senyum sumringahnya.
“Eonni....” teriak Rose sambil berlari kearah Rumi dan memeluknya
“Aigooooo....” desah Rumi di dalam pelukan Rose yang terlihat sangat bahagia.
[Astaga..]
“I miss you eonni....” seru Rose kemudian
“Miss You too...” jawab Rumi kemudian.
“Did you miss me too Rose...??” tanya Poppy yang sedari tadi berdiri disamping mereka.
“Yeah eonni too...” jawab Rose kemudian
Rose mengajak Rumi dan Poppy masuk ke apartemennya, dan mereka bertiga mengobrol sebentar sebelum Harris datang menjemput Poppy. Rumi akan tinggal di apartemen Rose sebelum dia kembali ke rumahnya keesokan harinya, namun sebenarnya Rumi tidak akan kembali ke kampung halamannya, dia akan pergi ke Seoul besok pagi.
“Besok keretamu jam berapa Rum...?” tanya Poppy
“Pagi eonni, biasalah kan aku selalu pakai kereta yang subuh biar sampai sana masih pagi...” jawab Rumi.
“Okai sampai jumpa besok di stasiun ya...kamu di anter Rose kan...??” tanya Poppy
“Iya eonni, tapi kalau eonni gak sempet anter juga gak apa-apa kok, kan aku bisa main lagi kesini pas eonni lahiran iya kan...??” jawab Rumi.
“Pasti bisa kok...si debay juga pengen anter onty nya...” jawab Poppy sambil mengelus perut besarnya.
“Aga ya...eomma jal deul-eo...” kata Rumi sambil mengelus perut Poppy juga
[Adek Bayi...dengarkan ibumu ya...]
Poppy tersenyum melihat Rumi, dan Poppy pun meninggalkan Rumi di apartemen Rose dan dia pulang bersama Harris. Di dalam mobil Poppy menitihkan air mata dan dia sudah tidak bisa membendungnya sedari tadi.
“Sudahlah sayang kamu harus kuat...kalau Rumi tahu dia akan semakin sedih...” kata Harris
“Aku sudah berusaha tegar mas...aku gak bisa lihat mata Rumi yang begitu sedih dan sangat putus asa, dia sama sekali belum pernah tersenyum bahagia belakangan ini, ini sudah bertahun-tahun mas...Rumi pasti sangat tersiksa...” jaelas Poppy dengan suara parau.
“Aku ngerti...Rumi juga pasti gak mau bikin kamu kepikiran, kamu juga kan lagi hamil besar, dia Cuma ingin kamu gak terlalu berfikir yang berat-berat...udah ya jangan sedih lagi...” kata Harris sambil mengelus punggung Poppy
“Kenapa orang tua Rumi sama sekali tidak mengerti anak-anaknya...?? padahal kalau aku lihat mereka sangat harmonis, jauh dari keluargaku yang selalu saja bertengkar, tapi setidaknya ayah dan ibuku masih tahu apa yang aku benci dan apa yang aku sukai...” kata Poppy
“Orang tua setiap anak itu berbeda sayang, setiap keluarga punya masalah yang berbeda-beda, kadang memang orang tua cenderung mengekang anak-anak mereka karena mereka terlalu menyayanginya, ini mungkin juga bisa jadi kasus Rumi, bagaimana Ayahnya selama ini memperlakukan Rumi, menurut kamu itu kejam, tapi menurut ayah Rumi ini lah yang terbaik untuk melindungi putrinya, jadi kamu jangan samakan denga orang lainnya sayang...” kata Harris
“Iya aku paham mas, tapi setidaknya sedikit aja, Cuma secuil aja perhatian ke Rumi apa tidak bisa...??”
“Menurut kamu hanya secuil...??kalau dari pandanganku, ayahnya Rumi bukan hanya secuil memperhatikan Rumi tapi bercuil-cuil makanya dia sangat banyak rasa sayangnya, makanya sampai dia tidak melihat kebahagiaan Rumi yang sebenarnya itu harusnya bagaimana...” 
Poppy terdiam mendengar kata-kata dari suaminya itu, dan membuatnya tersadar kalau memang benar apa yang Harris katakan. Mana ada orang tua yang membenci anaknya, bagaimanapun kelakuan anaknya, orang tua adalah orang pertama yang akan memeluknya. Ada yang pelukannya tidak terlalu erat yang mengakibatkan anaknya pergi meninggalkannya, dan ada pula yang sangat erat memeluknya sehingga anaknya meninggal di pelukkannya. Dan untuk Rumi, ayahnya terlalu erat memeluknya, sehingga Rumi kehabisan ruangan dan dia susah bernafas, akhirnya dia pelan-pelan terbunuh di dalam pelukan itu, dan sekarang dia sedang berusaha melepas pelukan itu.
Malam itu di apartemen Rose, Rumi mengepack pakaiannya kedalam koper yang dia titipkan kepada Rose beberapa hari yang lalu. Rose mengamati Rumi dari atas tempat tidurnya.
“Eonni mau pergi kemana..???” tanya Rose tiba-tiba
Pertanyaan Rose itu membuat Rumi berhenti dan menatap Rose dengan kaget, tetapi dengan cepat dia merubah ekspresi wajahnya dan mulai tersenyum sambil melanjutkan packingnya.
“Iya pulang lah kerumah Rose..” jawab Rumi
Rose meringkuk dan memeluk Rumi dari belakang, dia merasakan kekhawatiran sedang menyelimuti Rumi saat itu.
“Eonni...semangat....aku ngerti eonni pasti berat menjalani hidup seperti ini, eonni yang dulu dan sekarang sangat berbeda, entah kenapa aku merasakan kesedihan di mata eonni, saat dulu kita selalu bertukar cerita tentang Korea, membahas Oppa-oppa disana mata eonni selalu ceria, namun saat ini aku lihat hanya bibir eonni yang tersenyum, namun mata eonni terlihat sangat sedih..” kata Rose
“Rose...makasih ya kamu perhatian sekali sama aku, memang untuk memulai sesuatu itu di butuhkan pengorbanan yang sangat besar, aku sedih karena aku tidak bisa banyak bertahan untuk bisa mengorbankan apa yang aku punya...tapi berkat kamu sama Eonni aku jadi ada semangat untuk tetap bertahan...terima kasih ya...” kata Rumi sambil memeluk Rose
“Aku selalu mendukung eonni...eonni tahu kan...aku sama Poppy eonni akan selalu di samping kamu, jadi jangan lupakan itu...” kata Rose sambil berlinang air mata.
Pagi jam 04.30, mobil Rose sudah parkir di stasiun kota, di sana Poppy dan Harris juga sudah stanby di depan stasiun. Poppy membawa papper bag yang lumayan besar dan memberikannya pada Rumi.
“Apa ini eonni..?” tanya Rumi heran
“Oleh-oleh buat orang rumah, buat kamu juga...” jawab Poppy di sertai senyuman
“Ohh...okai..terima kasih Eonni...” jawab Rumi
Rumi memandang sayu mata Poppy yang terlihat habis menangis semalaman, lalu dia memeluk sahabatnya itu.
“Eonni kenapa kok matanya sembab...??” tanya Rumi di pelukan Poppy
“Ohh aku semalam kurang tidur kok, kerjaan di kantor numpuk...kan aku mau cuti melahirkan jadi banyak yang harus aku selesaikan sebelum cuti..” jawab Poppy
“Apa Eonni sudah baca surat dariku..??” batin Rumi
“Rum sampai rumah kabar-kabar ya...” kata Harris kemudian
“Iya oppa...aku juga di kabari kalau Eonni mau lahiran ya...”
“Pasti...”
“Eonni hati-hati di jalan ya...jangan lupa juga kabari aku kalau sudah sampai sana ya...” kata Rose 
“Hemm...kalian tenang aja nanti aku akan kabari kalian sesampainya disana...makasih ya udah anterin aku pagi-pagi buta gini...” jawab Rumi
Rumi memasuki pintu stasiun dan berbaur dengan penumpang yang lainnya untuk memasuki kereta. Sesekali dia menoleh untuk memastikan kalau teman-temannya masih disana untuk melihatnya pergi. Hari Rumi sangat sesak saat itu, dia juga sedih karena harus berbohong dengan mereka, dia bisa melihat air mata Poppy mulai mengalir di pipinya, dan itu membuat dia yakin kalau sahabatnya sudah membaca surat yang dia buat.
“Mas...kita kebandara sekarang...” kata Poppy kemudian
“Aku ikut ya eonni...” kata Poppy 
Mereka bertiga segera kembali keparkiran dan menuju bandara, sesampainya disana mereka bertiga menunggu di depan pintu keberangkatan, namun mereka bersembunyi supaya Rumi tidak melihatnya. Selang beberapa waktu Rumi memasuki bandara dan langsung check in di maskapai yang akan dia naiki untuk pergi ke Seoul.
“Rumi bukan anak kecil lagi sayang...kamu gak perlu sampai seperti ini kali...” kata Harris
“Ini untuk pertama kalinya Rumi pergi ke luar negeri mas, aku Cuma mau make sure kalau dia gak apa-apa...” jawab Poppy
“Sepertinya Rumi eonni udah banyak belajar deh, coba liat dia tenang banget lho...” kata Rose sambil menunjuk ke arah Rumi
“Iya..kamu bener Rose, aku memang ngajarin dia untuk selalu belajar sebelum melakukan apapun yang ingin dia lakukan at least dia tahu bagaimana cara mengatasi dan juga cara sampai ketujuannya...dia bener-bener melakukannya dengan baik..” kata Poppy
“Rumi itu pinter sayang...jadi aku yakin dia pasti selamat sampai Korea, kita doakan aja yang terbaik untuk dia sekarang..” kata Harris kemudian.
Tak lama kemudian Rumi memasuki ruang keberangkatan dan menghilang dari pandangan ketiga temannya. Poppy, Rose dan juga Harris keluar dari bandara dan menuju mobil yang mereka parkir di parkiran bandara.
“Eonni tahu dari mana kalau Rumi eonni mau ke Korea..?” tanya Rose
“Beberapa hari yang lalu Rendra, adik Rumi menelfonku, dia menceritakan semuanya, mulai dari perselisihan Rumi dengan ayahnya dan juga Rumi mau di jodohkan tanpa sepengetahuan Rumi, Rendra mendengar Rumi membuat Visa ke Korea lewat telefon dan beberapa hari kemudian ada post datang dari Jakarta dan itu mungkin Visa Rumi, dan Rumi tiba-tiba datang kesini dengan alasan pernikahan temannya, yang sebenernya sudah dua minggu yang lalu acaranya..” cerita Poppy
“Aku yakin Rumi eonni pasti sudah memikirkan ini dengan sangat hari-hati, dia pasti kesepian selama ini...” kata Rose
“Makanya saat Rendra cerita itu, aku langsung merasa sangat sedih Rose, kenapa Rumi harus mengalami semua hal ini...”
“Aku juga sangat kaget saat Rumi eonni bilang mau paketin koper untuk bisa belanja baju yang mau dia jual di sana, awalnya aku gak percaya namun aku berusaha untuk mempercayainya, namun setelah eonni menemuiku dan menceritakan kalau Rumi Eonni mau ke Korea aku jadi sadar akan koper itu.”
“Rumi pasti mengira kalau kita tidak tahu dia akan pergi meninggalkan kita untuk ke Korea..”
“Iya eonni..”
“Dan mungkin saja sekarang dia sudah tahu...kalau kita tahu dia mau ke Korea..” kata Harris sambil memandang ke langit dan melihat pewasat melintas di atas mereka.
Di dalam pesawat, Rumi membawa papper bag dari Poppy dan juga tas kecil dari Rose, dia membuka tas dari Rose, disana dia mendapati perlengkapan traveling, mulai dari powerbank, router wifi yang biasa di gunakan untuk berpergian keluar negeri, kabel data serta charger dangan banyak model tipe handphone. Disana terselip surat kecil, dan Rumi membukanya dengan pelan.
Dear Rumi Eonni,
Eonni happy traveling yah...aku tahu eonni gak bermaksud untuk bohongin aku, dan aku juga tahu pasti eonni punya alasan untuk melakukan itu. Ini semua barang-barang yang biasa aku pakai selama aku traveling ke luar negeri, di sana colokan charger beda sama disini, makanya aku belikan dengan berbagai macam bentuk supaya eonni bisa terus on untuk kabari aku. Routernya sudah aku aktifkan, eonni tinggal pakai nanti setibanya di Seoul, cara pemakaiannya ada di buku panduan. Eonni cepat kembali ya, dan aku ingin setelah eonni kembali, eonni kembali happy lagi. I Love you eonni...keep save and stay healty.
Rose
Rumi menitihkan air mata saat membaca surat dari Rose, dan dia jadi tahu kalau kebohongan dia semalam tidak berarti di mata Rose. Setelah itu dia membuka papper bag dari Poppy, disana ada beberapa baju hangat, syal, dan juga sepatu kets yang ukurannya pas di kaki Rumi.
My Best Sister ever Rumi
I know you have a hard time, and I hope you can handle that....bagaimanapun dan apapun keputusan kamu , aku tahu kamu sudah pertimbangkan ratusan bahkan ribuan kali. Rum kamu berhak untuk bahagia dan kamu juga berhak untuk bisa menggapai semua mimpimu. Aku harap kamu akan selalu bahagia dan disana kamu bisa menemukan pelangi yang selama ini kamu cari. Aku baca di google saat ini di Korea mau memasuki musim dingin dan suhunya dingin, makanya aku siapin baju hangat buat kamu, jangan lupa di pakai, kamu kan cepet banget kena flu, dan di kotak kecil itu ada obat flu sama demam yang biasa kamu minum, sama vitamin juga, jaga kesehatan ya selama disana. Cepet pulang ya...kamu masa gak mau lihat keponakan kamu sih...jangan lama-lama disana, happy traveling dear...I love you from moon and back...
Poppy
Kali ini Rumi menangis sesenggukan sambil menutup mulutnya dengan punggung tangannya, dia tidak menyangka kalau sahabat-sahabatnya tahu akan keberangkatannya. Dia hanya bisa menagis dalam diamnya, sebenarnya hatinya sangat sakit harus berbohong dengan semua orang yang ada di sampingnya, namun dia sudah terlanjur melakukannya.
Disisi lain, Rose masih duduk di kursi mobilnya dan ada sepucuk surat serta kotak kecil di kursi samping kemudi. Rose membukanya, dan itu berisi tumbler dengan nama Rose.
Dear Rose,
Aku gak tahu harus nulis apa buat kamu selain maaf aku sudah berbohong sama kamu, mungkin saat kamu membaca ini aku sudah pergi jauh dari sini. Maaf Rose aku tidak bermaksud untuk membohongimu, aku hanya ingin ruang untuk sendiri menyelesaikan sesak dalam dadaku, aku harap kamu memaafkan aku. Kamu sangat baik, bahkan terlampau baik untukku, kamu selalu ada di sampingku kapanpun aku butuhkan, kamu seperti payung di tengah hujan deras. Dan happy birthday, ini mungkin lebih awal aku ucapkan karena aku yakin saat kamu ulang tahun aku tidak bisa di sana. Tumbler ini tahan banting kok, bisa air panas atau dingin, kamu suka sekali kopi dan aku harap kamu stop beli tumbler yang mahal-mahal namun cepet rusak, hehe...pakai punyaku ini aja ya...makasih Rose kamu sudah mau jadi temanku...I Love You...
Rumi
“Eonni....” rintih Rose disertai tangisan dengan memeluk tumbler dari Rumi
Rose menghabiskan sisa air matanya di mobilnya, dia sangat sedih dengan apa yang terjadi dengan Rumi. Dia tahu kalau Rumi benar-benar sudah hancur saat ini, dan dia ingin berada di sampingnya, namun apa daya dia hanya bisa merelakan Rumi pergi. Dan di sisi lainya Poppy dan Harris berada di jalan yang sudah mulai macet, sedari tadi Poppy hanya memandang kosong jalanan, dia masih teringat sepucuk surat yang terselipkan di baju bayi untuk bayinya kelak. Rumi memberikan sepaket baju bayi untuknya di kamar yang Rumi tinggali saat berada di rumahnya, dan disana ada sebuah surat yang Rumi tulis semalaman sebelum dia ke apartemen Rose keesokan harinya.
Dear Eonni,
Hi eonni it’s me...sorry for everything...sorry for lie, and thank you for everything...
Eonni mungkin aku terlihat seperti kekanak-kanakan, namun inilah yang bisa aku lakukan saat ini. Maaf eonni aku harus lari dari masalah yang sebenarnya harus aku hadapi, aku sudah cukup letih untuk semua ini eonni. Aku harus membiarkan bola salju itu menggelinding begitu saja, dan kini saatnya aku menghancurkannya, walaupun caraku mungkin salah. Eonni selalu mengajarkan kepadaku untuk tetap bertahan dan juga menghadapi semua masalahku, namun kali ini aku memilih untuk menghindarinya, aku sudah tidak cukup amunisi untuk berperang lagi eonni, maafkan aku. Tapi aku janji, aku akan perbaiki semua dari awal lagi, aku akan kembali merajutnya lagi setelah memotong benang yang kusut ini, jadi aku mohon percayalah padaku dan tetaplah menungguku pulang, aku pasti pulang, karena ibuku dan juga Rendra menungguku dan mungkin juga dengan bapakku...
Thank you eonni, semoga lancar lahirannya, dan semoga langgeng dengan Oppa, kalian berdua adalah couple goal ku...laff ya Eonni...from moon and back...
Rumi
Tidak sadar Poppy menitihkan air matanya, dan dia merasakan sakit yang amat sangat saat dia ingat kembali isi surat Rumi yang dia baca semalam. Rumi sering memberinya surat saat dia ulang tahun dan juga waktu dia menikah, namun surat Rumi kali ini membuat hatinya sangat sakit. Dan Rumi pun juga merasakan hal yang sama seperti Poppy, dia merasakan sakit di hatinya, dan juga kesedihan harus berbohong kepada orang yang dia sayangi dan juga kepada ibunya.
“Sungguh perpisahan yang keren...” batin Rumi sambil menghapus air matanya
Rumi memandang keluar jendela pesawat, dan dia memandang tumpukan awan yang putih terbentang di sepanjang matanya memandang.
Part 7, Wellcome to Seoul
Langit Seoul sangat canti sekali siang itu, di bawah sebuah payung taman Ha Joon sedang duduk dengan beberapa orang pria, sedari tadi mereka sangat sibuk dengan sebuah kertas yang terpapar di meja bundar itu. Ha Joon sesekali mengoreskan pensilnya di atas kertas itu sambil mengamati daerah sekitanya.
“Timjangnim...uri jeongmalhaeya-hae..??” kata Junmyo salah satu arsitek di tempat Ha Joon bekerja
[Pak ketua, kita benar harus melakukannya..??]
“Eung...urineun seontaeg-ui yeojiga eobseo...” jawab Ha Joon sambil terus memperhatikan gambar di atas kertas itu.
[Kita tidak punya pilihan lainnya..]
“Igeon jeongmal bulgongpyong haeyeo, geujeo Timjangnim..??”
[Ini sungguh tidak adil, benar kan pak ketua..??]
“Geugo wae...??”
[Memangnya kenapa?]
“Ani...I peulojegteu-neun timjangnim neomu yeolsimhi ilhada geunde gabjagi bujangnim-i...”
[Project ini sudah dikerjakan dengan baik oleh pak ketua, tapi tiba-tiba boss..]
“Nan gwanchana...gakkeum igeon il-eonanda...” jawab Ha Joon dengan senyuman
[Aku tidak apa-apa, terkadang hal seperti ini bisa terjadi..]
Junmyo pun terdiam setelah mendengar kata-kata Ha Joon, memang terkadang untuk seorang arsitek perubahan gambar dan tata letak ruangan bisa terjadi sewaktu-waktu sesuai keinginan dari pelanggan atau dari atasannya. Ha Joon bukan mengalami hal ini untuk yang pertama kali, dan dia cukup bertahan selama ini dengan pekerjaannya. Hari ini cukup melelahkan untuk Ha Joon, selain itu dia juga harus segera melakukan project terbarunya, yaitu untuk merenovasi rumah ayahnya. Mungkin itu adalah hal terberatnya yang selama ini tidak pernah dia bayangkan, dia akan masuk lagi di rumah yang dulu dia tinggali bersama ayah serta ibunya untuk pertama kalinya setelah 15 tahun lamanya.
Hari ini cuaca cukup cerah, dan suhu masih sekitar 22ºC, jadi tidak terlalu dingin dan juga tidak terlalu lembab. Setelah kurang lebih 8 jam perjalanan akhirnya Rumi tiba di Korea. Ini pertama kalinya Rumi menginjakkan kakinya di Seoul, kota yang menjadi tujuannya selama ini, rasa tidak percaya menyeruak di wajahnya, dia terlihat sangat bahagia. Aroma bandara Incheon membuat senyum Rumi mengembang, dan dia bergeas menganbil koper dan segera menuju bagian imigrasi untuk menyerahkan catatan imigrasi yang dia isi di dalam pesawat, dan juga paspor serta pengecekan visa. Setelah semua di lalui Rumi sudah mendapatkan kopernya, ini cukup mulus untuk pemula sepertinya, karena ini perjalanan pertamanya ke luar negeri sendiri, dia berkali-kali membaca papan yang ada di bandara dan memastikan kalau langkahnya tidak salah. Dia juga sudah siap dengan berbagai macam peta di handphonenya serta peta manual yang sudah dia siapkan di ranselnya. Rumi bergegas menuju minimarket terdekat dengannya untuk menukar uangnya dengan T-money untuk menaiki subway.
Setelah menukar beberapa uang, Rumi memasuki toilet dan membagi beberapa uangnya supaya jika ada yang hilang dia masih punya cadangan yang lainnya. Rumi juga mengganti pakaian dan juga sepatunya supaya lebih nyaman untuk di buat berjalan, karena perjalanannya masih sangat panjang untuk sampai di guest house nya. Rumi sudah siap dengan semua perlengkapannya, dia juga menyalakan router wifi dari Rose dan dia mengaturnya sesaat setelah dia keluar dari toilet. Setelah semuanya siap, Rumi mulai mengantri untuk bisa masuk ke subway yang akan mengantarkannya ke stasiun Seoul. Jarak antara bandara Incheon dan juga Seoul sekitar 45 menit jika menaiki subway, setelah Rumi berada di subway sekitar 45 menitan, dia keluar di jalur menuju Seoul. Sesampainya di stasiun Seoul, Rumi membeli USIM lokal dengan menunjukan paspornya di counter, hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga kalau router wifinya bermasalah. 
Rumi keluar dari stasiun Seoul, dengan menaiki anak tangga yang membawanya melihat gedung-gedung tinggi di Seoul. Rumi sangat bersemangat sekali, biasanya dia hanya melihat di drama atau di gambar saja, namun saat ini dia sungguh berada di sana, di tempat yang selama ini hanya muncul di bayangannya saja. Rumi berjalan dan mencari bus pariwisata yang akan mengantarkannya mengelilingi kota Seoul hari itu. 
“Wah.....” kata Rumi sesaat setelah dia keluar dari stasiun Seoul
Matanya terbelak dan dia sungguh sangat bahagia, dia tidak terlihat depresi lagi, walaupun di dalam pesawat tadi dia sangat sedih, namun kali ini dia benar-benar bahagia. Rumi menemukan bus yang bertuliskan ‘DOORE’ dia langsung bergegas menuju bus itu dan menaikinya beserta kopernya. Dia duduk di dekat jendela dan dia juga melihat ada beberapa tourist yang sama sepertinya, Rumi melempar senyum ke beberapa orang yang melintas di sampingnya, tak lupa Rumi memotret dengan kamera kecilnya. Kamera itu pemberian adiknya, Rendra saat Rumi berulang tahun beberapa waktu yang lalu. Rumi kembali menikmati suasana kota Seoul dengan bus dan dia juga tak lupa membuka kaca bus biar seperti drama-drama yang selama ini dia tonton.
Setelah mengelilingi kota Seoul, Rumi memutuskan untuk naik taxi ke tempat penginapannya yang sudah dia booking jauh-jauh hari. Setelah tiba di guest housenya di daerah Myongdong, Rumi membuka kamarnya yang ternyata sudah ada orangnya. Rumi memang memesan kamar yang bisa di sharing dengan orang lainnya, dan kebetulan teman sekamarnya itu juga berasal dari Indonesia, jadi Rumi merasa senang dia bisa satu kamar dengan orang yang bisa berbahasa Indonesia.
“Hai...” sapa Rumi
“Oh Hai...kamu baru datang...??” tanya dia sambil terus memperhatikan laya handphonenya
“Iya, kamu sudah berapa lama disini..?” tanya Rumi
“Sekitar dua hari yang lalu..” jawabnya singkat
Rumi memandang gadis berambut pirang dan terkesan berantakan itu. Malam itu teman sekamarnya yang bernama Anna menelfon seseorang menggunakan bahasa Korea, dan logat Anna sangat luwes seakan Anna bukan orang Indonesia melainkan orang Korea asli. Dari telfonnya, Anna terlihat sangat marah dan berkali-kali Rumi mendengar dia mengumpat di handphonenya. Rumi hanya diam dan membereskan barang-barangnya, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak ngobrol teman sekamarnya itu. Selasai membongkar beberapa pakaian dan juga mandi lalu sholat, Rumi duduk di tempat tidurnya sambil memegang handphone nya, dia bingung apa yang harus dia lakukan, haruskah dia memberi kabar teman-temannya atau adiknya. Otaknya berfikir sangat keras, dan akhirnya dia mulai mengetik lewat DM (Direct Massage) instagram. Dia menghubungi Rendra, Poppy dan juga Rose, pesan yang dia tulis sama, yaitu 
‘Aku sudah sampai di Seoul, semua baik-baik saja aku harap kalian tidak lagi khawatir denganku. Aku akan lekas kembali ke Indonesia, doakan aku ya, aku sayang kalian.’
Di Indonesia, Rendra membuka handphone nya dan melihat pesan dari kakaknya, bibirnya tersenyum simpul dan dia cukup lega kakaknya tidak apa-apa.
“Kakakmu...??” tanya Bu Sali
“Iya bu, dia sudah sampai Korea, katanya dia bakal segera pulang, Cuma 10 hari kok, ibu sabar ya...” jawab Rendra sambil memberikan Handphonenya ke ibunya
Bu Sali tersenyum pahit dan dia benar-benar mengkhawatirkan putrinya itu, dia sungguh merindukan putrinya saat itu. Dan di sisi lain Poppy tersenyum bahagia saat melihat pesan singkat dari Rumi dan dia juga membalasnya.
‘Happy traveling dear...I hope you have a good memories at Seoul...’
Rose juga membuka pesan DM (Direct Message) dari Rumi, Rose tersenyum bahagia juga, dia juga tak lupa membalasnya.
‘Have fun eonni...I hope you will happy at Korea...keep in touch with me yah...I already miss you eonni, hurry back home yah...’
Rumi memandang layar handphonenya dengan senyuman dan dia juga membaca semua pesan dari teman-temannya, dia merasa sangat bersyukur mendapatkan teman seperti mereka. Rumi akhirnya tertidur lelap untuk persiapan perjalanannya keesokan harinya, dia tertidur dengan tenang malam itu, walaupun teman sekamarnya masih saja bertengkar dengan orang yang ada di handphonenya, tapi itu tidak menghalangi Rumi untuk tetap terlelap dalam tidurnya. Paginya Rumi terbangun untuk sholat dan dia sudah mendapati teman sekamarnya tidak ada lagi di kamarnya, lemarinya juga kosong, Rumi berfikir kalau teman sekamarnya itu sudah check out semalam waktu dia tertidur. Setelah solat Rumi berdzikir sebentar dan dia lalu melanjutkan untuk menulis itinerary nya selama di Seoul.
Waktu Rumi sedang asik menulis tiba-tiba pintu kamarnya di gedor, dan dia segera membukanya, ternya itu pemilik guest housenya.
“What happen maddam...?” tanya Rumi
“A...do you see a girl..??” tanya ibu pemilik guest house sambil menunjuk tempat tidur Anna
“No...I’m woke up in the morning, and I see she have gone...maybe she have to check out last night...” jawab Rumi.
“Ahh..si**l...” umpat ibu itu lalu dia berlalu pergi meninggalkan kamar Rumi
[Ah..ke***at..]
Rumi sangat terkejut melihat ibu pemilik rumah itu marah-marah, dan dia juga tidak paham dengan situasi yang sedang dia hadapi saat ini. Rumi kembali menutup pintu kamarnya dan dia mulai berganti pakaian untuk memulai perjalanannya hari itu, itu adalah hari petama dia di Seoul. Saat dia keluar untuk jalan-jalan dia melihat ibu pemilik rumah sedang berbicara dengan beberapa pak polisi di halaman depan guest house. Dan Rumi mendengar dari beberapa orang di sekitarnya kalau wanita di guest house nya ada yang menghilang tanpa membayar sepeserpun.
“Apa yang mereka maksud adalah Anna..??” gumam Rumi.
Namun Rumi tetap melanjutkan perjalanannya, dia pergi mengelilingi daerah Myung-dong hari itu. Dengan ranselnya dan juga sepatu kets dari Poppy, dia siap menjelajahi Myung-dong dan juga berburu kuliner, walaupun dia juga harus berhati-hati dengan makanan disana. Sebelum berjalan-jalan, Rumi mampir ke mini market dan membeli beberapa makanan untuk sarapannya dan juga sekotak susu. Dia duduk di kursi depan mini market, dan menikmati sarapan ala kadarnya, dia membayangkan dia seperti ada di dalam drama yang selama ini dia tonton. Rumi memakan roti dan meneguk susu kotaknya sambil menikmati pemandangan orang lalu-lalang di depannya, hari itu hari minggu jadi banyak orang yang keluar untuk sekedar menikmati hari libur mereka.
Rumi beranjak dari tempatnya saat makanannya sudah habis, dia kembali berjalan di daerah Myung-dong. Daerah Myung-dong Korea memang terkenal sebagai surga berbelanja murah, dan Rumi sengaja untuk pergi kesana dulu, dia ingin hunting beberapa item yang akan dia jadikan oleh-oleh untuk teman-temannya. Rumi berjalan menyusuri jalan dengan kepadatan orang yang lumayan, waktu itu dusah menunjukan pukul 18.00 KST, namun suasana masih terlihat seperti siang. Dan bunga khas musim semi sudah mulai bermunculan, beberapa kali Rumi mengambil gambar dengan kamera kecilnya, dan dia tampak menikmati perjalanannya hari itu. Dia membeli beberapa baju dan juga pernak-pernik disana, dia juga tak lupa membeli beberapa kosmetik di Myung-dong.
Hari semakin gelap dan banyak sekali anak-anak muda yang memamerkan bakat mereka, ada yang menyanyi atau sebutan di Korea sana adalah Busking atau mengamen. Ada juga yang meng-cover dance boyband dan girlband Korea, mereka tidak kalah keren dengan boyband dan girlband aslinya mereka sangat totalitas. Biasanya Rumi hanya melihat dari feed intagram atau post beberapa orang di halaman instagramnya, namun kali ini dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia berdiri di salah satu orang yang sedang menyanyikan lagu dari Taeyeon SNSD yang berjudul Fine. Lirik lagu itu sekarang sama dengan situasinya saat ini, dan Rumi sangat menikmati lantunan lagu itu. Walaupun sebenarnya itu lirik lagu menceritakan tentang putus cinta, namun itu juga bisa diartikan kalau dia (yang menyanyikan lagu) sedang tidak dalam kondisi yang baik, dan itulah yang dirasakan oleh Rumi saat itu.
Saat dia sedang asik menikmati busking tiba-tiba ada yang menyenggolnya,
“Joesonghabnida...” katanya sambil berlalu
[Maaf...]
Rumi hanya memandang sekilas, dan dia melihat sosok itu seperti Anna, teman sekamarnya. Bergegas Rumi mengejarnya dan di benaknya dia ingat betapa marahnya ibu pemilik rumah yang dia tempati saat ini. Rumi berhasil menggapai pundaknya, dan wanita itupun menoleh ke arah Rumi, dan matanya pun terbelak.
“Anna....” kata Rumi berbaur dengan suara orang-orang yang ramai di sana
“Kamu kenapa ada disini...??” tanya Anna balik
“Anna kamu baik-baik saja...?” tanya Rumi balik
Anna terdiam dan menutupi mukanya dengan topi hitam yang dia pakai, rumi melihat memear di sudut mata Anna. Rumi menarik tangan Anna dan membawanya ke tempat yang lumayan sunyi dibanding tempat mereka saat ini. Rumi dan Anna duduk di depan sebuah mini market, dan Rumi membelikan beberapa makanan serta minuman hangat untuk Anna.
“Kamu kenapa Anna...??” tanya Rumi sambil membuka kaleng kopi untuk Anna
Anna hanya tertunduk diam saat Rumi melontarkan pertanyaan untuknya, dan dia sesekali melihat kearah lain, dia seperti sedang di kejar oleh sesuatu.
“Anna...kamu baik-baik saja kan...??” tanya Rumi lagi
“Sebaiknya kamu jangan ikut campur...” kata Anna sambil berdiri dari tempat duduknya
“Anna...” cegah Rumi sambil memegang tangan Anna dan membuat Anna terdiam
“Apa yang kamu inginkan dariku..?apa kamu akan melaporkan aku ke polisi..??” kata Anna dengan nada marah
“Anna...duduk dulu, kita bicara baik-baik ya...aku hanya ingin mendengar ceritamu, kenapa kamu jadi seperti ini, dan apa yang terjadi dengan mukamu itu...?” 
Anna menatap nanar Rumi, dan dia terlihat tidak suka Rumi melontarkan pertanyaan itu kepadanya.
“Kamu dan aku tidak sedekat itu untuk aku bisa cerita semuanya...”
“Memang kita tidak dekat, dan aku ingin dekat denganmu, malam itu aku tidak sempat mengajakmu mengobrol, karena kamu sangat sibuk dengan telfonmu, makanya kali ini aku ingin mengajakmu mengobrol...” kata Rumi dengan senyuman
Anna pun kembali duduk dan tertunduk lesu, dia sama sekali tidak tampak baik-baik saja, dia sedang berantakan saat ini. Rumi memindahkan kursinya di dekat Anna dan dia mengelus punggung Anna dengan pelan.
“Kamu minum dulu ya...dan makan roti ini, kamu pasti belum makan seharian ini...” kata Rumi sambil menyodorkan roti isi coklat kepada Anna
“Aku tidak suka coklat...” jawab Anna ketus
“Ohh...ini...” kata Rumi sambil menyodorkan roti isi strowberi
“Ahh....” kata Anna sambil melirik Rumi dan Rumi hanya tersenyum
“Kamu suka apa...??sosis??” kata Rumi lagi
“Kenapa kamu baik sekali sama aku, padahal kamu gak kenal sama aku, dan kamu juga gak tahu aku ini baik atau jahat...” kata Anna kemudian
“Mungkin ini jadi penyakitku, aku sering berbagi kebaikan dan memang tidak semua terbalas dengan kebaikan juga, namun entah kenapa aku ingin terus melakukannya, jadi anggap saja aku ini aneh ya...aku akan tetap baik walaupun aku tidak tahu orang yang aku temui itu jahat atau tidak, aku sudah seperti ini sejak dulu, dan ini juga yang kadang membuat teman-temanku memarahiku, karena aku sembarangan memberikan sebuah kebaikan, namun apakah itu salah???” jelas Rumi
Anna terdiam dan sekarang dia mulai memandang mata Rumi yang penuh dengan ketulusan. Anna tersenyum kemudian setelah dia melihat wajah ketulusan Rumi.
“Aku hanya ingin berbagi kebaikan, dan juga ini tabunganku di akherat nanti, jadi gak salah kan kalau aku bantu kamu An..??” kata Rumi lagi
“Iya aku paham maksudmu Rum...makasih ya...dan maaf tadi aku membentakmu...” kata Anna sambil memakan sosis di depannya
“Ohh...jadi kamu suka sosis...” seru Rumi kemudian
Mereka berdua akhirnya tertawa lepas, dan menikmati camilan yang Rumi beli di mini market tadi. Rumi juga membelikan beberapa obat untuk mengobati memar di wajah Anna.
“Aku lari ke Korea Rumi, untuk hindari hutang di Indonesia, tapi justru berakhir tragis...” kata Anna membuka cerita
“Memangnya kenapa bisa tragis...??” tanya Rumi
“Aku bertemu dengan pria Korea saat di Jakarta, dan dia sangat baik, jadi aku fikir aku akan bahagia bila mengikutinya ke Korea juga dan bisa lepas dari lilitan hutang keluargaku. Namun yang aku dapatkan bukanlah kebahagiaan yang sering muncul di serial drama, sesaat setelah datang disini aku baru tahu kalau pria yang aku sukai itu adalah penjahat. Dia membuatku jadi penjahat pula, dia menjualku, menyuruhku melakukan beberapa kegiatan kriminal, dia menahan paspor dan visaku. Dan sekarang semuanya sudah kadarluwarsa aku tidak ada biaya untuk memperpanjangnya, kalau aku mau melapor ke polisi dia akan memukuliku tanpa henti, dan akan membiarkan aku tergeletak begitu saja di jalanan. Aku takut Rum, aku gak tahu apa yang harus aku lakukan lagi aku juga tidak tahu apakah aku bisa kembali ke Indonesia lagi atau tidak..” cerita Anna
“Kamu gak coba lapor ke KBRI disini Anna...??” tanya Rumi
“Aku selalu di awasi Rum, aku bahkan tidak punya handphone untuk menghubungi siapapun, dan ini kalau aku gunakan untuk menelfon orang lain selain dia, dia akan memukuli ku lagi..” jawab Anna sambil memandang handphone di tangannya
Rumi menghela nafas panjang, dan jujur dia juga bingung dengan reaksi apa yang harus dia lakukan untuk menghibur Anna. Dia hanya mengelus punggung Anna dengan pelan dan berusaha menenangkan Anna.
“Kamu yang sabar ya Anna...mungkin ada jalan lain supaya kamu bisa mendapatkan kembali paspor dan visa kamu...kita berdoa sama-sama ya...semoga Allah mendengarnya dan kamu bisa kembali ke Indonesia...”kata Rumi sambil mengenggam tangan Anna
“Kamu percaya sama Tuhan...???”
Rumi memandang Anna yang sepertinya sangat depresi dan dia seolah mengingatkan Rumi tentang keadaannya dulu.
“Kamu gak percaya sama Tuhan Anna..??kenapa...?” tanya Rumi
Anna kembali terdiam, dan pandangannya kosong kedepan, seakan dia sedang mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan dari Rumi.
“Kalau dia ada dan benar-benar sayang kepada umatNya, dia tidak akan meninggalkan aku yang seperti ini...” jawab Anna
Rumi tersenyum mendengar jawaban dari Anna, Rumi lalu mendekatkan tempat duduknya kepada Anna.
“Apa kamu sudah mendekatkan diri sama Tuhanmu...??apa kamu sudah meminta kepadanya...??” tanya Rumi
“Sudah...semua sudah aku lakukan, sudahlah aku tidak percaya lagi, semua terasa sia-sia...”
“Kamu hanya kurang bersabar Anna...Tuhan akan mendengar kita kalau kita tidak berhenti meminta kepadaNya, tidak pernah lelah menemukan jalan untuk terus sampai kepadaNya. Sepanjang hidupku aku tidak hidup di keluarga yang taat akan agama, bahkan waktu kecil bapakku tidak meng-adzan-i aku sewaktu aku lahir. Aku tumbuh di keluarga yang minim ilmu agama, kami hanya melakukan yang tetua kami lakukan. Solat pun tidak selalu lima waktu, bahkan amalan yang lainnyapun kami tidak tahu. Lalu aku mulai berfikir tentang Allah, apakah dia benar-benar ada, kenapa aku tidak bisa melihatnya, kenapa kalau aku kesusahan aku berdoa namun tidak ada bantuan darinya...aku selalu menyalahkanNya, aku selalu tidak yakin denganNya. Lalu pada suatu saat aku bertemu dengan seorang wanita yang sekarang menjadi sahabatku, dialah orang yang menuntunku untuk sampai seperti ini sekarang. Dia tidak pernah memaksaku untuk mengerti, namun dia mengajariku untuk memahami.” Jelas Rumi
Anna memandang Rumi dengan perasaan kagum, dan dia tersenyum kemudian dia kembali memandang jalan di depan mereka.
“Anna...semakin kamu membenci Tuhan, maka kamu akan semakin mempercayainya, karena kebencian dan kepercayaan itu beda tipis. Saat kamu mulai menyalahkanNya berarti hati kamu sedang kecewa karena kamu begitu percaya kepadaNya. Teruslah meminta, jangan pernah berhenti mendekat kepada Tuhanmu, dia ada di dekatmu hanya saja kamu belum bisa merasakannya. Aku yakin suatu saat kamu akan mengerti kalau semakin besar ujian yang kamu lalui maka Tuhan semakin sayang sama kamu, karena dengan kamu menyelesaikan semua ujiannya kamu akan naik kelas, dan kamu akan hidup setingkat lebih tinggi dari yang lalu. Maka kalau kamu sedang mengalami kesulitan, kamu harus rajin berdoa dan memohon, mungkin saja Tuhan mendengar dan dia akan memberikan hadiah di akhir ujian kamu...seperti hadiah kenaikan kelas dengan nilai tertinggi...” kata Rumi di selingi senyuman
“Kamu baik sekali Rum...maafkan aku karena sudah mengabaikanmu kemarin...” kata Anna
“Gak apa-apa...aku tidak bisa membuat semua orang menyukaiku dan aku juga tidak bisa menyukai semua orang... makanya aku tidak masalah kalau orang lain tidak memperdulikanku, namun aku tetap akan peduli dengan siapapun yang memang membutuhkan bantuan...” jawab Rumi
“Kamu dari tadi terus mendengar keluh kesahku dan memberiku nasehat, sekarang hatiku lumayan lega...”
“Kadang kita bercerita kepada seseorang bukan untuk meminta nasehat, tapi hanya untuk di dengarkan, itulah kenapa Tuhan memberikan kita dua telinga dan satu mulut, karena kita di haruskan banyak mendengar daripada berbicara...”
“Kamu penulis novel ya...??” tanya Anna kemudian
“Hahaha...bukan, tetapi aku suka sekali baca buku, makanya banyak yang bilang aku terlalu puitis dan mendramatisir setiap kejadian, tapi sebenarnya apa yang aku katakan benar kan...?” kata Rumi
“Haha...iya benar...kamu benar Rum...aku bersyukur bisa bertemu denganmu dan mengeluarkan semua uneg-uneg ku...hahahaha...lega rasanya...” kata Anna dengan nada bahagia
Rumi tersenyum melihat Anna yang sudah kembali tersenyum lagi, Rumi lalu mengeluarkan kameranya.
“Anna ayo kita foto untuk kenang-kenangan..” kata Rumi tiba-tiba
“Hah...kenapa tiba-tiba...??”
“Lha memangnya kenapa...?mumpung bagus backgroundnya...” jawab Rumi sambil menunjuk kerlap kerlip lampu di pasar Myung-dong
“Kamu mau melakukan ini bukan untuk melaporkan aku ke kantor polisi kan..??” tanya Anna dengan nada takut
“Ihhh kamu ini...iya enggak lah masa kamu gak percaya sama aku sih...??” tanya Rumi 
“Emmm...baiklah...tapi siapa yang mau pegang kameranya...??” tanya Anna
Rumi mulai memutar matanya untuk menemukan seseorang yang bisa dia mintai tolong, lalu matanya tertuju dengan laki-laki yang sedari tadi duduk di belakang mereka. Lelaki dengan kemeja warna putih di padu dengan celana jeans balel, lelaki itu adalah Ha Joon. Dia sedari tadi mendengar pembicaraan Rumi dan Anna di sana, dan dia mulai memperhatikan Rumi, gadis dengan kerudung warna peach serta jaket jeans yang berwarna senada di padu dengan dress warna cream serta tas ransel hitam. Rumi berjalan mendekati Ha Joon dan dia tersenyum sambi bilang.
“Excuse me..you can speak english..??” tanya Rumi
“Yeah of course..what can I do for you..?” jawab Ha Joon
“Oh...can you take a picture of me with my friend...?” tanya Rumi lagi
“Oh Sure...” jawab Ha Joon sambil beranjak dari tempat duduknya
“Thank you...” jawab Rumi
Ha Joon mengambil beberapa foto Anna dan Rumi lewat kamera Rumi, dan Ha Joon pun kembali ketempat duduknya setelah memotret beberapa gambar mereka berdua.
“Thank You...” kata Rumi sesaat sebelum Ha Joon duduk kembali di kursinya
“You’re wellcome...” jawab Ha Joon singkat
Rumi dan Anna melihat beberapa foto yang baru saja diambil, dan Rumi juga tidak lupa selfie dengan Anna menggunakan handphone nya. Mereka berdua asik memilih beberapa foto sambil tertawa riang, seakan kejadian tidak mengenakkan barusan tidak pernah terjadi. Ha Joon memandang mereka berdua, dan dia mulai tersenyum sendiri saat dia melihat senyum Rumi. Rumi tersenyum dengan sangat tulus, apa yang dia katakan dengan Anna, dan semua nasehatnya kepada Anna, Ha Joon bisa mendengar dengan sangat jelas, dan dia juga bisa mengerti apa yang Rumi dan Anna bicarakan.
“Yeppeuda...” desah Ha Joon sambil tercenyum memandang Rumi
[Cantik..]
“Aku harus kembali ke guest house Anna...kamu mau kemana sekarang...??” tanya Rumi
“Mungkin aku akan mencari motel dekat-dekat sini...”
“Baiklah...ini nomorku, hubungi aku kalau kamu bisa telfon ya, atau setidaknya kabari aku, ini alamat intagramku kamu bisa DM aku disini...” kata Rumi sambil meninggalkan secarik kertas
“Baiklah...besok kamu mau kemana...??” tanya Anna
“Mungkin ke namsan...aku ingin sekali kesana, besok aku juga harus pindah guest house...” jawab Rumi
“Memangnya kenapa kamu harus pindah...??”
“Aku juga mau ke pulau nami, makanya aku mau pindah ke daerah dekat sana...” jawab Rumi dengan antusias
“Kamu akan melakukan perjalanan sendiri...??”
“Hemm...” angguk Rumi percaya diri
“Wah...kamu hebat banget untuk ukuran pemula...”
“Aku sudah banyak belajar, membaca di google, nonton di youtube, baca map dan juga aku bisa beberapa bahasa Korea...” 
“Wahhh...kamu niat banget...coba ngomong bahasa Korea..” kata Anna
“Annyeonghaseyo..je ileum-eun Rumi imida...” kata Rumi dengan fasih
[Hallo nama saya Rumi..]
“Oh...bangawoyo Rumi ssi, jeoneun Anna imida...jal butagdeulibnida..”
[Senang bertemu denganmu Rumi, mohon kerjasamanya/jaga aku baik-baik]
“Hahahaha....” gelak mereka berdua
Ha Joon yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua ikutan tersenyum saat Rumi dan Anna tertawa geli dengan percakapan mereka. Akhirnya Rumi dan juga Anna berjalan meninggalkan mini market tadi, dan Ha Joon hanya melihat mereka sampai menghilang di antara orang-orang di pasar Myung-dong.
“Ini...” kata Anna sambil menyerahkan dompet milik Rumi
“Hah..ini kan dompetku, kenapa ada di kamu...??” tanya Rumi polos
“Hah...dari tadi kamu gak sadar dompet kamu ilang...??” tanya Anna kaget
“Eung...aku membagi-bagi uangku, jadi aku tidak menyadari kalau dompetku hilang...”
“Tadi waktu aku menabrakmu di kerumunan, aku mengambil dompetmu, lalu kamu mengejarku aku pikir kamu sadar kalau aku mengambil dompetmu tapi ternyata kamu malah melakukan hal yang tidak terduga...” jelas Anna
“Ohh..terima kasih...” kata Rumi sambil menerima dompetnya dari Anna
“Kamu ini aneh, aku mencuri dompetmu tapi kamu malah berterima kasih...”
“Tidak masalah soal itu, lagi pula kamu sudah mengembalikannya kepadaku, berarti kamu kan sudah tidak mencurinya lagi...” jelas Rumi sambil memasukkan dompetnya ke tas ransel bagian dalam supaya tidak hilang lagi.
“Rumi kamu sungguh baik...aku sudah mencuri dompetmu, tapi kamu malah membelikanku makan serta mendengar semua keluh kesahku...”
Rumi memeluk tubuh mungil Anna, dia menepuk punggung wanita dengan rambut pirang acak-acakan dan luka memar di wajahnya itu.
“Kamu juga orang baik Anna, kamu sudah mau berbagi kamar denganku, dan juga merapikan tas ku semalam, aku melihatnya kok.” Kata Rumi kemudian
“Kamu melihatnya...?” jawab Anna
“Eung kamu menarik koperku dan menaruhnya di sudut supaya tidak menghalangi jalan dan juga merapikannya, sekecil apapun perbuatan, kalau itu baik Insa Allah akan terus diingat...” kata Rumi disertai senyuman.

Mereka akhirnya berjalan bersama sampai di ujung pasar dan Anna pun harus berpisah dari Rumi malam itu. Mereka berpisah sambil melambaikan tangan dan berharap bisa bertemu lagi keesokan harinya. Malam itu Rumi kembali ke kamar yang dia sewa, dan di kamar itu dia sendirian, karena masih belum ada penyewa yang menempatinya. Dia merapikan beberapa barang di koper dan juga bersiap untuk istirahat, hari esok tidak kalah melelahkan dari hari ini. Dan dia masih tidak percaya saat ini berada di Korea, negara yang sangat ingin dia kunjungi selama hidupnya. Rumi merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya dan memandang langit-langit kamarnya, dia masih memutar memorinya saat menyusuri jalan di Myung-dong, dimana dia mendengarkan busking lagu-lagu kesukaannya dan akhirnya membuatnya terlelap.
“Hari ini mungkin terasa sangat istimewa, tetapi esok hari akan jauh lebih istimewa, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, mari beristirahat...terima kasih ya Allah untuk hari ini...” kata Rumi lalu memejamkan matanya.





Part 8, Kehidupan Sesungguhnya SEOUL
Rumi meletakkan kopernya di ruang tamu guest house nya dan dia bersiap berpamitan dengan ibu pemilik guest house nya. Rumi membayar sisa uang selama dia tinggal di guest house dan dia melebihkan uangnya untuk pembayaran semalam.
“It’s too much miss...” kata putra pemilik guest house dan di sampingnya berdiri ibu pemiliknya
“Oh..yes, last night I used this room by myself, si this for the full money of room...” jawab Rumi
“Ohhhh..okey okay you don’t have to do that, but thanks you, my mother lost a lot of money because of the bicth...s**t...” kata pria itu sambil mengumpat dengan bahasa Korea
“It’s okay...now I have to go, thank you for two day...and thank you for everything ahjjuma [bibi]..” kata Rumi sambil mengangkat kopernya dan bergegas meninggalkan guest house nya itu
“Okay see you later, don’t forget to visit us if you come back to Korea again...” tampah laki-laki separuh baya itu.
“Okay, see you...” jawab Rumi sambil berlalu pergi
Rumi mengecek persediaan T-money nya dan dia lalu membaca rute selama dia di stasiun Myung-dong yang terletak di belakang Shinsegae Departement Store. Pagi itu lumayan ramai, karena itu adalah hari aktif yaitu hari senin, dan bisa di bayangkan betapa penuhnya stasiun saat itu. Semua orang yang bekerja di Korea kebanyakan menggunakan transportasi KTX (Korea Train eXspress) untuk mempercepat sampai di kantor. Rumi berdiri di line masuk untuk sampai ke Sangbong Stasiun yang berada di Line 7. Sebelum sampai di Sangbong Stasiun, Rumi harus transfer di Gyongchun Line dan dia mengambil jalur yang mengarah ke Gapyeong Station. Setelah menunggu beberapa menit, kereta datang dan Rumi pun memasuki line kereta sesuai tujuan dia, dia masuk bersama banyak orang, dan lumayan ramai sekali hari itu. Pandangan Rumi tidak lepas dari jalur line kereta yang ada di handphone nya, dan dia berkali-kali memastikan kalau dia tidak salah jalur.
Rumi memang sengaja tidak duduk di kursi, dia berdiri sambil berpegangan di tiang kereta, karena pagi itu sangat ramai jadi kursipun hampir terisi semuanya. Lalu ada beberapa kerumunan yang berjalan ke arahnya, dan beberapa dari mereka menabrak Rumi, walaupun dia sudah meminggirkan badannya, namun masih saja tertabrak, dan dia juga terlihat melemparkan senyum dan berusaha ramah supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Hal yang tidak terduga terjadi, saat pintu kereta terbuka, tubuh Rumi ikut menyembul keluar bersama dengan beberapa gerombol orang tadi, dia kesulitan untuk masuk lagi karena waktu itu sangat banyak sekali orang yang turun di stasiun itu. Saat Rumi berbalik ke arah kereta, pintu sudah tertutup dan dia terdampar di stasiun Itaewon, dia melihat line yang dia naiki. Rumi mengecek beberapa kali, kalau dia benar berdiri di line no 7 tetapi kenapa dia sampai di Itaewon sekarang dengan nomer line 6. Rumi terlihat pucat pasi, dan dia menenangkan diri dengan duduk di bangku stasiun, dan menarik kopernya. 
“Hah...aku kesasar....” keluh Rumi dengan nada lemah
Rumi menarik koper mendekat ke arahnya, dan dia lalu meraik tas ranselnya, namun apa yang terjadi, ransel Rumi sudah tidak ada lagi di punggungnya. Dia terlihat sangat panik, dan dia berusaha kembali ke daerah pertama kali dia turun dari kereta, namun sayangnya Rumi tidak menemukan apapun disana.
“Bagaimana ini...tas ku...uangku...” Rumi mulai menitihkan air mata dia terlihat sangat ketakutan
Beberapa kali Rumi berusaha melihat papan pengumuman untuk membaca, jalur kereta, serta jalur keluar dari stasiun Itaewon itu. Dan keadaan saat itu sangat ramai, jadi tidak banyak banyak orang yang peduli dengan Rumi yang terlihat kebingungan. Di tengah keputusasaannya, Rumi melihat seseorang dengan seragam polisi yang tengah berpatroli di dekat sebuah pintu keluar stasiun. Rumi bergegas berlari dan mendekati polisi tersebut.
“Excuse me sir...can you help me...?” tanya Rumi kepada polisi itu
“E...what happen...??” jawab polisi dengan nada terputus-putus
Rumi menyadari kalau polisi itu tidak begitu bisa berbahasa Inggris, dia tidak bisa mengeluarkan handphone untuk mencari kamus, atau sekedar membuka aplikasi lancar berbahasa Korea di handphonenya. Karena tasnya hilang, jadi semua peralatan dia termasuk paspor dan visanya juga ikut hilang bersama ranselnya.
“Nae gabang-eun gicha-eseo gil-eul ilh-eossda ahjjusi...” kata Rumi dengan panik
[Paman, tasku hilang di kereta...]
“Gabang..??dangsin-neun yeog-eseo tasibnikka..?” tanya polisi tersebut
[Tas..??kamu naik dari stasiun mana..?]
Rumi mengerutkan keningnya, karena dia kurang paham dengan pertanyaan polisi tersebut. Lalu polisi tersebut membawa Rumi ke kantor pusat di daerah Itaewon, sesampainya disana Rumi berbisaca dengan salah satu polisi yang bisa di sebut detektif yang biasa menangani barang hilang di kereta. Rumi menjelaskan kejadian dengan bahasa Inggris, dan beberapa orang polisi disana bisa mengerti apa yang Rumi ceritakan. Lalu Rumi diharuskan untuk mengisi formulir kehilangan di kantor polisi, dan dia juga mendapatkan beberapa surat keterangan yang diharuskan untuk segera melapor ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) yang ada di Korea. Beberapa polisi juga memberikan langkah-langkah yang harus diambil Rumi untuk bisa mendapatkan surat pengganti paspornya yang hilang.
Hari sudah mulai gelap, dan Rumi merasakan tubuhnya tidak bertenaga lagi, dia duduk di bangku depan kantor polisi dengan menggenggam kertas, yaitu surat pernyataan kehilangan dari kepolisian yang baru saja dia dapatkan. Uang disakunya juga menipis, dia tidak tahu lagi apa yang bisa dia lakukan, handphone nya juga tidak ada. Dia beruntung buku itenary perjalanannya masih ada di koper, dan disana ada beberapa fotocopy KTP,Paspor dan visanya, jadi dia bisa mengisi formulir dengan baik. Sekarang Rumi kebingungan untuk bernaung dimana malam itu, kakinya letih berjalan dan terasa lemas, sebagian uangnya memang ada di koper, tapi itu juga tidak cukup kalau dia harus bertahan sampai semua surat dan paspornya kembali.
Rumi meringkukkan tubuhnya dan dia menangis sejadinya, dia benar-benar tidak menyangka kalau hal ini bisa terjadi padanya. Dia juga berfikir kalau ini mungkin adalah salah satu hukuman atas sikap dia sebelum berangkat ke Korea. Saat itu wajah ibunya terlintas di matanya, dia teringat akan ibunya dan dia sangat merindukan Poppy juga. Rumi berjalan lesu dengan menarik kopernya tanpa tujuan yang pasti, dan dia tiba di sebuah masjid yang sangat besar. Masjid itu berdiri kokoh dan terdengar sedang berkumandang Adzan yang memasuki waktu Isya’. Rumi berdiri di depan masjid sambil melihat lampu terang di bagian kubahnya.
“Astaugfirllah...maafkan aku ya Allah, barusan aku melupakanMu...” batin Rumi.
Kaki rumi melangkah menaiki anak tangga di masjid itu, dan dia melepas sepatunya dan menaruh koper di sampingnya, dia duduk sambil mengeluarkan mukena dari kopernya. Sambil mengusap air matanya dia beruasaha menahan tangisnya sambil mendengarkan Adzan yang berkumandang di masjid itu. Rumi mengambil air wudhu dan beranjak untuk sholat berjamaah di masjid itu, dia berbaur dengan wanita-wanita muslim lainnya. Selesai sholat, wajah Rumi masih sangat terlihat berantakan, dia berdzikir dan memanjatkan doa. Beberapa kali air mata mengalir di pipinya, dan dia begitu terlihat sedih dengan kejadian yang dia alami hari ini.
Setelah selesai berdoa, dia melipat mukenahnya dan berjalan keluar masjid sambil mengangkat kopernya. Rumi duduk kembali di anak tangga masjid, dan dia masih tidak tahu harus kemana, dan tiba-tiba ada seorang perempuan paruh baya menghampirinya, umurnya sekitar 50 tahunan, dia mengenakan gamis coklat tua dan kerudung hitam.
“Kamu orang Indonesia...??” tanyanya sambil duduk di samping Rumi
“Iya bu saya orang Indonesia..” jawab Rumi dengan suara parau
“Wah...seneng sekali saya bisa bertemu dengan orang yang senegara dengan saya...”kata dia dengan bahagia.
“Ibu juga orang Indonesia..?” tanya Rumi
“Iya...saya orang Indonesia, tapi suami orang Korea, jadi tinggal di Korea sekarang jadi warga sini...siapa nama kamu nak..??”
“Saya Rumi bu...”
“Rumi...namamu cantik...ibu namanya Sumi..Sumiyati, tapi orang sini panggil ibu dengan Ibu Oh, karena nama suami marganya Oh...”
Rumi tersenyum dan menatap wajah ibu yang mengajaknya bicara itu, dia ingat dengan ibunya di rumah. Pasti sekarang ibunya sedang memikirkannya, betapa egoisnya Rumi meninggalkan orang yang dia sayang. Hati Rumi sangat sakit sekali memikirkannya, dia mulai berkaca-kaca matanya.
“Kamu kenapa Rumi...?” tanya Bu Sumi
“Enggak apa-apa bu...saya hanya teringat ibu di Indonesia...” jawab Rumi
“Ohh begitu, aku lihat dari tadi kamu menangis waktu berdoa, memangnya kenapa Rumi..??kamu kangen rumah ya..??” tanya Bu Sumi
Rumi hanya mengangguk, dan dia menatap langit Itaewon malam itu, dia belihat beberapa kerlip bintang dan cahaya bulan di malam itu.
“Ibu....Rumi harap ibu lihat bulan juga malam ini....” batin Rumi
Malam itu udara dingin menyelimuti kediaman Rumi, hujan satu hari mengguyur desa dan juga perkampungan disana. Ibu Sali melipat beberapa pakaian di ruang tengah, dan di sebelahnya ada Rendra yang sibuk mengedit beberapa video di laptopnya.
“Hari ini hujannya gak berhenti ya...??” kata Bu Sali pada Rendra
“Iya bu...mau kemana-mana jalan di tutup soalnya desa sebelah katanya banjir bandang, Rendra juga gak bisa kemana-mana hari ini...” keluh Rendra sambil terus memandang laptopnya.
“Ibu jadi gak bisa lihat rembulan malam ini...” kata Bu Sali lagi sambil menatap kelangit yang gelap gulita dan hanya terdengar suara hujan di luar rumah.
Rendra menghentikan aktivitasnya, dan dia duduk di samping ibunya, dia tahu betul ibunya sekarang sedang merindukan kakanya yaitu Rumi.
“Ibu tenang aja, kakak Cuma sepuluh hari kok disana...” kata Rendra sambil menenangkan ibunya yang sedang merindukan Rumi.
“Semoga kakakmu baik-baik saja disana...” kata Bu Sali dengan lirih
Rumi berjalan berdampingan dengan ibu Sumiyati, di senpanjang perjalanan Rumi menceritakan kalau dia kehilangan tas nya dan juga uangnya. Bu Sumiyati yang merasa iba mengajak Rumi untuk sementara tinggal di rumahnya, lalu mereka memutuskan untuk pergi ke Rumah Bu Sumiyati yang terletak di gang kecil daerah Itaewon. Sesampainya di rumah, Rumi melihat sekeliling rumah. Rumah bu Sumiyati terletak cukup dekat dengan masjid besar di daerah Itaewon, dan termasuk sebuah apartemen yang sederhana. Di daerah Itaewon cukup mahal untuk bisa mendapatkan rumah bagus atau tempat tinggal yang bagus. Rumi juga melihat hanya ada dua kamar disana, dan sudah ada penghuninya semua, yaitu anak-anak Bu Sumiyati. Melihat itu Rumi jadi tidak enak hati, karena dia beban rumah kecil bu Sumiyati jadi bertambah.
“Rumi tidur disini saja bu, tidak apa-apa...” kata Rumi sambil menunjuk sofa di depan TV
“Gak apa-apa Rumi, kamu tidur di kamar anak saya saja, dia tidak keberatan kok, tadi saya sudah bilang...” kata Bu Sumi meyakinkan Rumi
“Gak apa-apa bu, Rumi disini saja, lagian hanya semalam ini saja kok, jadi gak apa-apa kalau Rumi tidur di sini, besok pagi-pagi Rumi harus ke KBRI untuk urus paspor sementara..” tolak Rumi dengan halus.
Bu Sumiyati akhirnya membawakan beberapa selimut hangat, dan juga membuatkan Rumi segelas susu. Keluarga Ibu Sumiayati tidak begitu memperhatikan kedatangan Rumi, mereka semua terkesan cuek dan tidak begitu  memperhatikan Rumi. Mungkin tidak semua orang Korea itu bersikap peduli kepada orang lain, apalagi orang asing seperti Rumi yang berpenampilan berbeda dengan yang lainnya. Suami Bu Sumiyati bekerja di bangunan menjadi mandor, dan ibu Sumiyati sendiri bekerja serabutan, kadang melipat kotak pizza kadang juga mengelem kertas untuk bungkus teh kotak, apapun yang penting halal begitu kata Bu Sumiyati. Dan Bu Sumiyati juga memiliki tiga orang anak yang jarak umurnya lumayan dekat, anak pertamanya kelas tiga SMA, yang kedua baru masuk SMP dan yang kecil masih SD dan tidur bersama Bu Sumiyati di kamarnya bersama suaminya, sedangkan kedua anaknya lagi berbagi kamar, semua anak Bu Sumiyati perempuan, jadi bisa di bayangkan betapa sesaknya rumah itu. 
Rumi duduk di sofa warna coklat khas yang sering tampil di drama korea atau film korea, sofa itu tampak sangat lusuh dan mungkin sudah berumur. Rumi mengeluarkan buku agenda yang ada di kopernya, ditemani lampu yang sangat minim di ruangan itu, Rumi mulai membuka selembar demi lembar, dan diapun mulai menitihkan air mata. Rumi membayangkan kalau dia tidak akan bisa kembali lagi ke Indonesia, walaupun hati kecilnya berkata kalau dia pasti akan bisa kembali lagi kerumahnya dan meminta maaf kepada kedua orangtuanya kelak. 
“Ibu..bapak...maafkan Rumi...” desah Rumi sambil memeluk buku agendanya.
Keesokan paginya Rumi berpamitan kepada Bu Sumiyati untuk berangkat ke KBRI, dan ibu Sumiati memberikan bekal makanan untuk Rumi, dia sangat baik sekali.
“Rum...ini buat makan nanti siang...sambil kamu ngurus pasport kamu...jangan telat makan dan jagang sedih lagi ya...jangan terlalu percaya sama orang yang belum kamu kenal...kalau kamu kebingungan balik kesini lagi gak apa-apa kok...” kata Bu Sumiyati
“Iya bu...terimakasih banyak, Rumi jadi ngrepoti ibu...” jawab Rumi sambil menerima bungkusan bekal dari bu Sumiyati.
“Enggak Rum...ibu seneng bisa bantu kamu...semoga urusanmu lancar ya...ini nomer telfon ibu, kalau ada apa-apa telfon kesini ya...” kata bu Sumiyati sambil memberikan secarik kertas bertuliskan alamat lengkap dengan nomer telfon rumahnya.
Rumi menerimanya dan memasukkan ke saku jaketnya, dia berpamitan dan memelekuk bu Sumiyati lalu berjalan meninggalkan bu Sumiyati. Jarak yang di tempuh Rumi lumayan jauh, dan kali ini dia berbekal peta dari bu Sumiyati lengkap dengan nomer transportasi yang bisa di gunakan untuk bisa sampai ke KBRI. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan juga penuh sesak di dalam bus juga kerepotan karena koper Rumi yang terbilang cukup besar, jadi agak susah kalau harus naik turun angkutan umum disana. Namun di Korea sendiri warganya kebanyakan tidak begitu memperhatikan selama itu di batas normal.
Sesampainya di KBRI Rumi menunggu untuk diinterview dan juga dia harus mengisi beberapa formulir untuk diserahkan ke bagian imigrasi dan layanan kehilangan pasport. Rumi duduk di ruang tunggu dan melihat banyak beberapa orang yang berlalu lalang sambil membawa dokumen yang sangat banyak. Disana Rumi juga melihat beberapa orang Indonesia juga yang sepertinya mengalami hal yang sama sepertinya. Lalu saat Rumi mulai ingin mengisi formulir, Rumi mulai mengalami kesulitan karena ada beberapa data yang dia tidak mengerti harus mengisi apa. Rumi memulai memutar mata untuk mencari seseorang yang bisa membantunya, namun nihil, hari itu KBRI ramai sekali sehingga dia kesulitan untuk menemukan seseorang yang bisa di ajak berbicara.
“Indonesia...??” tanya seseorang tiba-tiba dari belakang Rumi
Rumi menoleh dan dia menganggukan kepalanya, menandakan kalau dia memang orang Indonesia.
“Assalamualaikum...namaku Ali, aku dari Indonesia juga...” katanya seraya tersenyum ke arah Rumi
Karena Rumi memakai hijab dan lengkap dengan perlengkapan yang menandakan dia seorang muslim, makanya Ali langsung mengucapkan salam seperti orang muslim pada umumnya.
“Walaikumsalam...aku Rumi...” jawab Rumi dengan senyum lega
“Kamu lagi ngurus apa disini...??” tanya Ali 
“Ini..paspor ku hilang dan sekarang aku mau mengajukan paspor sementara...” jawab Rumi sambil menunjukan formulir ditangannya.
Ali melihat sekilas formulir di tangan Rumi, lalu Ali membawa Rumi kesebuah ruangan untuk bisa mengisi formulir itu dengan tenang. Ali adalah salah satu karyawan di KBRI jadi dia membantu Rumi untuk mengisi formulir pengajuan semantara paspornya. Beberapa menit kemudian Rumi sudah selesai mengisinya, dan Ali mengantarkan Rumi untuk mengumpulkan formulir tersebut. Setelahnya Ali mengajak Rumi untuk duduk disebuah kursi dimana di depan kursi itu ada mesin kopi. Ali membawa dua gelas kecil kopi dan duduk disamping Rumi, mereka mengobrol disana.
“Kamu sendirian disini Rum..?” tanya Ali
“Iya Ali...aku liburan disini, awalnya hanya 10 hari saja aku disini, tapi entahlah apakah aku bisa balik ke Indonesia lagi..” jawab Rumi sedih
“Lho memangnya kenapa gak bisa balik lagi ke Indonesia Rum..?”
“Tas ku hilang Ali, disana ada paspor,tiket,visa serta uangku...sekarang yang aku punya hanya koper ini saja..” cerita Rumi
“Astaugfirllah...jadi semua perlengkapan kamu dan data diri kamu hilang Rum...?” tanya Ali 
“Iya Ali, handphone juga di tas ranselku itu, jadi aku benar-benar tidak bisa menghubungi keluargaku di Indonesia, aku bingung...” keluh Rumi dengan tertunduk
Ali memandang kasihan kepada Rumi, dan dia teringat dengan adiknya di Indonesia, adik Ali seumuran dengan Rumi.
“Kamu kehilangan tas kamu di mana Rum...??” tanya Ali sambil memberikan tissue karena Rumi sedikit mengeluarkan air mata.
“Aku kehilangan tasku di stasiun Ali...di daerah Itaewon sana...aku baru sadar saat aku keluar dari pintu stasiun, dan saat aku mau mengambil ranselku di punggung ternyata sudah tidak ada...aku panik saat itu karena semua informasi diriku disana dan juga uangku disana...” jelas Rumi lalu dia meneguk kopi di tangannya yang sedari tadi dia pegang.
“Lalu sekarang kamu tinggal dimana Rum...?”
Rumi menatap Ali dengan pandangan sendu dan keputusasaan, dia lalu menunduk sambil memandang gelas berisi kopi hitam di tangannya.
“Aku tidak punya tujuan...” jelas Rumi sedih
Ali menghela nafas dan dia memandang iba kepada gadis yang berada di depannya saat ini.
“Rumi...begini saja, bagaimana kalau kamu ikut aku, aku punya teman seorang perempuan yang tinggal sendiri di apartemennya, jadi kemungkinan kamu bisa sementara tinggal disana bagaimana..??” tanya Ali
Rumi mengerutkan keningnya dan dia seolah tidak percaya kalau Allah memberikannya jalan keluar lewat Ali.
“Aku gak enak Ali...kita kan baru kenal, aku gak begitu tau kamu begitupun sebaliknya...” jawab Rumi dengan nada rendah\
Sebenarnya jauh di lubuk hati Rumi dia ingin sekali menyetujui saran Ali, namun disisi lain dia takut karena ini di Negeri orang dan dia juga belum tahu Ali, apakah dia baik atau tidak. Rumi juga teringat pesan bu Sumiyati padanya pagi tadi, kalau jangan mudah percaya dengan orang lain.
“Antrian pengajuan paspor sementara ini cukup lama lho Rum...kamu juga harus punya dana tambahan untuk bayar nanti kalau paspor kamu udah jadi, jadi seenggaknya sebulan lah kamu harus stay di Korea sampai paspor dan visa kamu jadi. Dan untuk sementara kamu bisa gunakan kertas tanda kehilangan dari kepolisian dan juga dari KBRI ini yang bentuk fotocopy selama kamu nunggu paspor kamu ini... lalu kamu mau pergi kemana coba..??” jelas Ali
Rumi memandang mata Ali yang benar-benar terlihat tulus kepadanya saat itu, namun Rumi juga tidak ingin mempercayai 100% dengan itu semua. Disinilah batin Rumi bergejolak, jiwa bertahan hidup Rumi mulai memanipulasi pikirannya.
“Nanti aku akan awasi pengajuan paspor kamu sampai mana selama itu, kamu tinggal sama temenku aja bagaimana...??” bujuk Ali
“Baiklah...” jawab Rumi dengan nada pasrah
“Okai..aku akan telfon temanku dulu, kamu tunggu sini ya..” kata Ali sembari dia mengeluarkan handpone dan menelfon seseorang
Ali berjalan menjauh dari Rumi dan dia tampak sedang berbicara dengan seseorang denagn handphonenya. Rumi memperhatikan gerak-gerik Ali yang tampak sedang meyakinkan seseorang di telfonnya. Lalu beberapa saat kemudian Ali menghampiri Rumi dan dia berkata kalau temannya mau menampung Rumi untuk sementara. Dan Ali menyuruh Rumi untuk menunggunya sampai selesai bekerja dan pulang bersama, karena sebentar lagi sudah jam pulang Ali. Rumi menunggu Ali di depan sebuah ruangan dan disana ada beberapa majalah dengan tulisan berbahasa Inggris, Rumi mengambilnya untuk menghilangkan rasa bosannya.
Jam menunjukan pukul 8 malam waktu setempat, Ali keluar dari ruangannya dan berjalan menuju lobi untuk bertemu Rumi, dan disana Ali melihat Rumi sedang mengobrol dengan seseorang dari Indonesia juga yang sedang mengurus paspor yang hilang sama sepertinya. Setelah melihat Ali, Rumi tersenyum dan berjalan kearah Ali, mereka berdua berjalan meninggalkan gedung KBRI menuju stasiun untuk pulang ke apartemen teman Ali yang kebetulan satu apartemen dengan Ali juga. Apartemen Ali berada di daerah Hannam-dong, dan saat kereta yang mereka lewati sungai Han, Rumi tersenyum melihat kerlipan lampu dari sisi-sisi sungai han.
“Kenapa Rum..?” tanya Ali
“Enggak apa-apa Ali...aku Cuma bersyuku bisa bertemu dengan orang-orang baik disini..” jawab Rumi
Mereka berdua saling memandang lalu saling melemparkan senyum, Ali sendiri memang memiliki sikap yang ramah dan juga mudah bergaul jadi membuat siapapun di dekatnya akan merasa nyaman. Mereka berdua sampai di jalan menuju apartement, dan disepanjang perjalanan mereka mengobrol tentang Indonesia. Ali sendiri sudah hampir 8 tahun tidak pulang ke Indonesia, jadi dia banyak menanyakan kabar perkembangan Indonesia ke Rumi. Lalu mereka tiba di sebuah toserba, disana Ali melihat sosok laki-laki dengan kemeja hitam dan juga celana jeans serta tas ransel yang sudah tidak asing lagi untuk Ali. Dengan mengendap-endap Ali berjalan dan menepuk bahu laki-laki yang sedang asik melihat sketsa di kertas.
“Chinguuyaaa....” kata Ali mengagetkan nya
[Teman!!!]
“Ya...gae..” suaranya tertahan saat melihat Ali dengan senyum nakalnya
“Mwohe...??”
[Ngapain??]
“Ani...amugeosdo eobseo..” jawab Ha Joon sambil merapikan sketsanya
[Tidak ada apa-apa]
Mata Ha Joon menatap Rumi, gadis yang dia temui beberapa waktu yang lalu sekarang ada di hadapannya.
“Kenalin...ini Rumi...tadi aku ketemu dia di KBRI..Rum Ini Ha Joon sahabatku...” kata Ali mengenalkan mereka berdua.
“Hai...” kata Ha Joon lirih
Rumi menatap Ha Joon dengan teduh dan memberi senyuman yang biasa Rumi lakukan.
“Hai...aku Rumi...kamu bisa bahasa Indonesia..??” tanya Rumi
“Ahh...iya aku bisa bahasa Indonesia..” jawab Ha Joon terbata-bata
“Yah neo wae geurae..??”
[Hey..kamu kenapa?]
Ha Joon hanya menggeleng dan dia lalu menarik kursi di sebelahnya untuk Rumi biar bisa duduk. Lalu mereka bertiga mengobrol di depan toserba itu, Rumi menceritakan kejadiaan naas yang dia alami dan bagaimana dia bisa bertemu dengan Ali di KBRI.
“Jadi sekarang dia akan tinggal di rumah Yeorin..?” tanya Ha Joon kepada Ali
“Iya tadi aku sudah telfon Yeorin, dan katanya gak apa-apa sih...” Jawab Ali sambil meneguk minuman di depannya.
“Syukurlah...kamu pasti kesulitan hari ini Rumi...” kata Ha Joon
“Iya lumayan...ini akan jadi cerita unforgettable ku selama di Korea...” jawab Rumi
Rumi melempar senyuman ke Ha Joon dan Ha Joon pun balik tersenyum padanya, dalam hati Ha Joon bertanya apakah Rumi tidak mengingatnya..?? dia laki-laki yang pernah mengambil fotonya saat di Myeong-dong. Tak lama kemudian Yeorin datang, dan ikut bergabung dengan mereka bertiga. 
“Yeorin a...gumaweo..” kata Ali sambil menyodorkan minuman dingin ke hadapan Yeorin
[Yeorin..terima kasih..]
“Eung...” jawab Yeorin sambil meneguk minuman dari Ali
“Rumi...Yeorin ini dia bisa sedikit bahasa Indonesia, makanya kalau masalah bahasa kamu gak perlu khawatir...” kata Ali kepada Rumi
“Iya Ali...” jawab Rumi dengan senyuman
Yeorin meneguk minumannya sambil menatap kearah Ali dan Rumi yang pada saat itu saling melempar senyum. Lalu Yeorin menghentakan botol minumannya di meja yang membuat semua mata melihatnya.
“Yah...wae geure...??” tanya Ha Joon
[Hey..ada apa..?]
“Aniya...geunyang...gaja neujeosseo...” kata Yeorin lalu dia beranjak dari kursinya
[Tidak, hanya saja...ayo ini sudah malam..]
Sikap dingin Yeorin membuat Rumi sedikit khawatir, dia takut nanti Yeorin tidak suka kepadanya dan akan melakukan hal yang kurang baik. Namun Ali terus meyakinkan Rumi untuk bisa tetap tenang tinggal bersama Yeorin. Akhirnya mereka berempat berjalan beriringan dan menuju apartement mereka, disepanjang perjalannan hanya Ali yang banyak bicara sedangakan Ha Joon memilih hanya mencuri pandang kepada Rumi, sedangkan Yeorin terlihat tidak senang dengan kedekatan Ali dan Rumi, sedangkan Rumi merasa tidak enak karena sikap dingin Yeorin. Tanpa mereka tahu, disinilah kisah dari mereka berempat ini di mulai, sebuah cerita yang mungkin tidak pernah di bayangkan sebelumnya oleh Rumi maupun ketiga orang yang sedang bersamanya saat ini.
Malam itu, Rumi memasuki apartement Yeorin untuk pertama kali dan Rumi melihat kalau apartement Yeorin lumayan luas dan juga tertata sangat rapi. Yeorin memberikan sliper ke Rumi dan mereka berdua berjalan masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa berwarna coklat muda. Perabotan di rumah Yeorin sangat tertata rapi dan juga bersih. Dilihat sekilas Yeorin memiliki ketertarikan dengan musik klasik, seperti mozart. Itu terlihat dari beberapa piringan hitam yang terpampang di rak serta sebuah piano yang lumayan terlihat cukup tua di pojok ruangan dekat pintu kaca arah balkon apartementnya. Rumi mengamati sekelilingnya, lalu Yeorin membuyarkan pengamatan Rumi dengan membawakan segelas air putih.
“Eonni...nan hal malisseo...” kata Yeorin tiba-tiba sambil duduk di samping Rumi
[Kakak..ada yang ingin aku katakan..]
“Oh...mwo..?” jawab Rumi sedikit gugup
[Oh..apa..?]
“Eonni neun...Ali Oppa joah..??” tanya Yeorin dengan tatapan mengintimidasi Rumi
[Kaka suka dengan kak Ali..?]
“Mwo...???!!!” tanya Rumi balik dengan ekspresi kaget
[Apa..??!!]
Yeorin menatap kedua mata Rumi yang nampak kaget dengan pertanyaannya itu, lalu Yeorin memalingkan wajahnya dan tertunduk.
“Kamu suka sama Ali ya...?” kata Rumi lirih
“Huh...” kata Yeorin tiba-tiba sambil menatap kembali Rumi
“No neun...Ali joah na bwa...geutji..??” tebak Rumi
[Kamu..suka sama Ali, iya kan?]
“Museun soliya..?” elak Yeorin malu
[Apa yang kamu katakan?]
“Yeorin na...aku gak seperti itu kok, aku baru aja mengenal Ali, bagaimana bisa aku langsung suka sama dia...dia memang baik tapi aku tidak menyukainya sebagai seorang pria..” jelas Rumi
“Heemmm...I don’t know what are you talking about eonni...” jawab Yeorin sambil mengerutkan dahinya
“In a fact...I’m just friend with him nothing more Yeorin...you got it...??” kata Rumi meyakinkan Yeorin
Lalu Yeorin menatap mata Rumi yang menatapnya dengan penuh kepastian dan juga usaha Rumi untuk membuat dia percaya dengan kata-katanya.
“Okai...” jawab Yeorin kemudian
Rumi tersenyum, lalu dia menepuk bahu Yeorin yang membuat Yeorin memahami jika gadis dihadapannya ini sedang berusaha dekat dengannya. Di sisi lain Ha Joon dan Ali berjalan berdampingan menuju apartemen mereka, disepanjang perjalanan Ali terus memperhatikan handphonenya untuk bermain game, dan Ha Joon terlihat sedang menata hatinya untuk bertanya tentang Rumi pada Ali. Sesaat sebelum Ali memasuki apartemennya, Ha Joon menghentikan langkah Ali, dan itu membuat Ali memandang kearah sahabatnya itu.
“Wae..mwo..?” tanya Ali
[Kenapa..ada apa..?]
“Geu...Rumi marya...” kata Ha Joon terbata-bata
[Anu...Rumi itu...]
“Rumi Wae...?”
[Rumi kenapa?]
“Anida..deul-eoga...”
[Tidak apa-apa..masuklah..]
“Geure...isanghane-neon..” kata Ali sambil beranjak masuk ke apartemennya
[Baiklah...aneh kamu ini..]
Ali meninggalkan Ha Joon di depan pintu apartemennya, dan pelahan Ha Joon juga beranjak berjalan masuk ke apartemennya yang hanya berjarak 10 langkah dari kamar apartemen Ali. Ali dan Ha Joon tinggal bersebelahan, sedangkan Yeorin tinggal di lantai bawah dari apartemen mereka. Keesokan paginya Ha Joon dan Ali berangkat kerja bersama, saat lift mereka turun ke lantai Yeorin, mereka bertemu Yeorin dan juga Rumi yang juga mau keluar dari apartemen pagi itu.
“Assalamualaikum Rum....” sapa Ali
“Walaikumsalam Ali...” jawab Rumi disertai senyuman
“Mau kemana ini..?” tanya Ali kepada Rumi
“Yeorin mau ajak aku ke kafenya, katanya disana ada pekerjaan, seperti katamu aku juga harus mempersiapkan uang untuk pasport ku Ali...” jelas Rumi
“Ah...Yeorin na...gumaweo...neon jinjja joh-uen saraminida...” kata Ali
[Ah...Yeorin.. terimakasih ya..kamu orang yang baik..]
“Mwoya...??!” jawab Yeorin sambil memalingkan wajahnya dari Ali
[Apa sih..?!]
“Yeorin emang punya kafe, tapi agak sepi sih...soalnya dia gak bisa masak...hahaha...” kata Ali meledek Yeorin
Dan Ha Joon tersenyum menanggapi kata-kata Ali, berbeda dengan Yeorin yang langsung menatap tajam ke arah Ali.
“Oppa jinjja...Indonesianeun moshajiman, museun mal-eulhanenji al-a...” jawab Yeorin dengan cemberut
[Oppa beneran deh, aku memang tidak bisa bicara bahasa indonesia, tapi aku tahu apa yang kalian bicarakan]
“Jinjeonghae Yeorin na...jangnan-iya...” jawab Ha Joon membela Ali dan meneangkan Yeorin.
[Tenanglah Yeorin.. itu hanya lelucon..]
“Yeorin na...mianhae..” kata Ali sambil mengelus kepala Yeorin dan membuat Yeorin sedikit tersipu
[Maaf Yeorin..]
Rumi hanya tersenyum melihat Ali dan juga Yeorin yang terlihat sangat menggemaskan, walaupun mereka sering bertengkar, tapi sebenarnya mereka saling menyayangi satu sama lain. Tanya Rumi sadari Ha Joon juga diam-diam memandang Rumi dan tanpa sadar Ha Joon pun tersenyum saat melihat Rumi juga tersenyum.
“Hari ini karena masih pagi, gimana kalau kita nebeng Ha Joon...??” kata Ali
“Huh...” Ha Joon sedikit kaget dengan perkataan Ali
“Jinjja..oppa..assa...” seru Yeorin senang
[beneran oppa..yess]
“Geutji chingguya...uh..uhh..” kata Ali sambil merangkul pundak Ha Joon walaupun Ali sedikit kesusahan karena tinggi Ha Joon yang tidak seimbang dengannya
[Bener kan temanku...]
“Oh...geure...gwenchana...gatji gaja...” jawab Ha Joon kemudian
[Oh..baiklah..tidak apa-apa..ayo..]
Akhirnya mereka berempat berangkat bersama Ha Joon menaiki mobil Ha Joon, dan Ha Joon menurunkan Yeorin dan Rumi di kafe milik Yeorin yang berada di daerah perkantoran di kota Hannam. Setelah Yeorin dan Rumi turun, Ali dan Ha Joon berangkat ke kantor mereka masing-masing. Saat di dalam mobil Ali tiba-tiba membicarakan tentang Rumi, dan dia merasa sangat kasihan dengan kejadian yang menimpa Rumi.
“Rumi adalah orang baik Joon...aku harap proses di KBRI akan cepat, karena keluarganya pasti mencemaskannya, apalagi dia tidak punya handphone untuk mengabari keluarganya disana, dia sendiri pasti juga sangat kesulian sekali sekarang...” cerita Ali
“Handphone nya ikut hilang juga..?” tanya Ha Joon
“Uh..handphone, uang dan pasport serta visanya semua menghilang, dia masih ada sedikit uang, tapi kalau untuk beli tiket dan menebus pasport baru dan visanya juga di KBRI akan sangat kurang, sedangkan visanya hanya bertahan 100 hari disini, sebelum 100 hari dia harus balik ke Indonesia atau kalau tidak dia akan di deportasi dari Korea..” jelas Ali
“Kira-kira sampai kapan proses di KBRI?”
“Mungkin akan memakan waktu setidaknya 1 bulanan Joon...bisa lebih juga karena juga banyak antrian wisatawan yang kehilangan pasport serta visa..”
Ali dan Ha Joon menghela nafas secara bersamaan, mereka berdua merasa iba dengan apa yang di alami oleh Rumi. Ha Joon masih sangat ingat senyum Rumi saat dia memotret Rumi beberapa hari yang lalu, namun dia tidak menyangka gadis itu akan mengalami nasib setragis ini. Saat di kantor Ha Joon masih saja kepikiran dengan Rumi, dan dia merasa kalau dia harus melakukan sesuatu untuk Rumi juga. 
Di sisi lain Rumi dan Yeorin masih menyiapkan kafenya, kafe Yeorin erbilang sangat kecil dan letaknya pun di tengah beberapa gedung dan tempat makan yang sangat besar. Pelanggannya juga tidak begitu banyak, mengingat menu yang ada disana sangat terbatas. Hanya ada satu pegawai disana, yaitu Oh Jae Yeong yang bertugas sebagai kasir dan kadang merangkap sebagai delivery man juga. Rumi memperhatikan sekitar kafe dan dia melihat beberapa menu di kafe Yeorin dan juga nama kafe Rumi yang terbilang sangat biasa. Lalu Rumi mengajak bicara Yeorin berdua di bagian dapurnya.
“Yeorin na...kamu paham bahasa indonesia kan..?” tanya Rumi pada Yeorin
“Ung...nan al-a geunde mal moshess-eo” jawab Yeorin
[Iya aku mengerti, tetapi aku tidak bisa berbicara..]
“Baiklah...sepertinya kita harus menta ulang kafe kamu supaya lebih menarik, dan sepertinya beberapa menu harus kamu rubah, kalau kamu tidak keberatan aku akan memasak beberapa snack untuk bisa menambah menu disini bagaimana..?” kata Rumi
Yeorin mengangguk pelan yang menandakan dia paham dengan apa yang Rumi katakan, dia sendiri juga merasa kalau kafenya sangat sepi dan penghasilannya pun sangat terbatas. Semalam dia bercerita banyak ke Rumi, dan Rumi berjanji akan membantunya selama dia tinggal di Korea sebagai bentu terimakasih karena Yeorin sudah mengijinkan Rumi untuk tinggal di rumahnya.
“Are you have any ideas for the name eonni..?” tanya Yeorin
Rumi mengerutkan dahinya untuk berfikir dan dia meulai berjalan keluar kafe dan memandang sekitar kafe. Lalu dia teringat kafe di rumahnya, yang sama sekali sepi pelaggan karena visual kafe yang tidak mendukung. Lalu Rumi memperhatikan papan nama di depan kafe Yeorin, dia lalu mengambil kursi dan melepasnya, lalu dia menulis dengan spidol di meja kasir lalu dia memasangnya lagi. Yeorin yang melihatnya sedikit heran, namun setelah melihat nama kafe yang Rumi tulis Yeorin melengkungkan senyumnya. ‘KAFE-IN’ itulah yang Rumi tuliskan di papan depan toko Yeorin. Setelah itu mereka bertiga mengatur ulang kursi dan juga meja disana.
Yeorin dan Rumi pergi kepasar bekas dan menemukan beberapa funiture yang bisa di manfaatkan, dan merekapun akhrnya membaa semua funiture itu dan mendaur ulangnya. Seharian mereka menata kafe itu, dan Rumi juga membeli beberapa bahan untuk menu baru yang akan mereka aplikasikan besok. Tidak terasa malampun tiba, Jae Yeong dan Yeorin masih menaa kursi dan meja, dan Rumi masih sibuk di dapur untuk menciptakan menu untuk besok. Tepat di jam 10 malam Ha Joon dan Ali tiba di kafe Yeorin, dan mereka berdua nampak kaget dengan tata letak kafe yang terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Sekarang kafe Yeorin terkesan luas dan juga nyaman dengan beberapa ornamen lampu hias dan juga beberapa meja dan kursi tambahan dari barang bekas yang di daur ulang.
“Wah...yeppuhda....” seru Ali saat memasuki kafe
[wah..cantiknya...]
“Eoseo oseyo...” kata Jae Yeong
[Selamat datang]
“Wah...Yeorin na...igge mwoya...??” kata Ali lagi sambil duduk di salah satu kursi daur ulang yang mereka perbaiki tadi
[Wah..Yeorin apa ini..?]
“Ah..oppa..cheoncheonhi..!!” teriak Yeorin karena melihat Ali yang sedikit berlebihan duduk di kursi itu
[Ah..oppa pelan-pelan..]
“Kim Yeorin...chukahanda...” kata Ha Joon yang ikut duduk di kursi depan Ali
[Kim Yeorin...selamat..]
“Rumi Eodiya..??” tanya Ali kemudian
[Rumi dimana?]
Sebelum Yeorin menjawab, tiba-tiba Rumi datang dan membawa beberapa pastry dan juga gorengan di hadapan Ha Joon dan Ali, tidak lupa Rumi membawakan jus dan kopi hasil buatannya di dapur Yeorin. Kedua mata Ha Joon dan Ali terbelak melihat makanan di depan mereka, lalu Yeorin memberi kode kepada Yeorin dan Jae Yeong untuk bergabung dengan mereka di meja tersebut.
“Gatji meokja...” kata Rumi disertai senyumnya
[Ayo makan bersama..]
Mereka berlima memakan hasil masakan Rumi dan merekapun mengakui kalau makanan itu sangat enak. Rumi membuat roti bolu gulung isi keju dan coklat, serta pastel dengan isi sayur seperti wortel, kentang dan beberapa seyuran hijau lainnya. Dia juga membuat gorengan khas Indonesia yaitu bakwan jagung dan juga perkedel, karena bahan yang ada di kulkas kafe Yeorin hanya itu saja makanya Rumi berusaha membuat menu simple tetapi enak. Dan hasilnya mereka semua menyukai masakan Rumi, apalagi Jae Yeong yang tidak bisa berhenti makan bakwa jagung buatan Rumi.
“Rumi...aku sangat kangen sama masakan Indonesia dan aku seneng banget kamu masak ini...ini beneran enak...” kata Ali memuji Rumi
“Yeah eonni...matshita...neomu matshita..ahh..na sal-assda...”
[Iya eonni...enak, sungguh enak, ah aku terselamatkan..]
“Ini enak Rumi...” kata Ha Joon
“Terima kasih ya...” jawab Rumi disertai senyuman
“Noona Njjang...” tambah Jae Yeong
[Noona terbaik]
Malam itu mereka menikmati makanan yang Rumi masak dan Rumi juga terlihat sangat senang karena menemukan orang-orang yang sangat baik yang begitu menghargai dan juga menyayanginya.
Di Indonesia, Poppy dan juga Rose mulai khawatir karena Rumi tidak menghubungi mereka lagi, terlebih Poppy sudah mau melahirkan. Poppy terus mengecek handphone nya dan dia belum menemukan kabar dari Rumi sama sekali. Tidak beberapa lama kemudia Rendra menghubungi Poppy.
“Kak Poppy...instagram kak Rumi di hack... aku tidak menemukan akun nya lagi...apa yang terjadi sama kak Rumi..?” tanya Rendra kepada Poppy
Seketika itu juga Poppy terlihat sangat kaget mendengar perkataan Rendra, dan dia mulai berfikir ada sesuatu yang terjadi kepada Rumi.
“Ren..coba telfon pakai nomer yang kemarin aku kasih..” jawab Poppy
“Sudah kak, tapi gak ada jawaban, ini bapak mulai nanya kenapa kak Rumi belum pulang? Aku sama ibu sudah kesusahan memberikan alasan, sedangkan kak Rumi gak bisa di hubungi..” jelas Rendra terlihat sangat khawatir.
“Kamu tenang dulu Ren...nanti kakak akan coba cari cara supaya bisa menghubungi Rumi lagi ya..sementara ini kamu bilang aja sama bapak kalau Rumi akan nungguin aku sampai aku lahiran disini begitu ya..” kata Poppy berusaha menenangkan Rendra.
“Begitu ya kak..? baiklah, nanti kalau ada kabar, tolong aku di kabari ya kak...? soalnya ibu mimpi buruk dari kemarin takutnya terjadi sesuatu sama kak Rumi...” jelas Rendra lagi
“Iya Ren..nanti kakak kabari kamu...kamu sekarang nenangin keluarga kamu dulu ya biar kakak coba tanya ke teman-teman kakak mungkin bisa bantu cari tahu kenapa Rumi gak bisa di hubungi..” jawab Poppy lagi
“Iya kak...makasih ya kak Poppy...” jawab Rendra sambil menutup telfonya
Poppy masih terlihat sangat pucat setelah mendengar kabar dari Rendra, dia tidak menyangka firasat buruknya sebelum Rumi berangkat menjadi kenyataan. 
“Kamu dimana si Rum...??” desah Poppy sedih.
Part 9, KAFE-IN
Jam menunjukan pukul 9KST pagi, Rumi terlihat sibuk menata bunga di depan kafe tempat Yeorin, dan terlihat juga Jae Yeong yang sedang me lap meja kafe dan Yeorin yang sedang merapikan tulisan menu di papan menunya. Lalu Ha Joon tiba-tiba datang dengan membawa kotak yang lumayan besar.
“Rum...” panggil Ha Joon sambil tergopoh membawa kotak itu
‘Oh..oppa...” kata Rumi sambil membantu Ha Joon membawa box kotak itu kedalam kafe
Mereka akhrirnya membukanya, itu berisi papan nama LED yang Ha Joon berikan sebagai kado, saat Yeorin menyalakannya tertulis KAFE-IN dengan lampu yang sangat indah. Hal itu membuat Rumi, Yeorin serta Jae Young merasa senang. 
“Gumaweo Oppa...” kata Yeorin sambil memeluk Ha Joon
[Terimakasih oppa]
“Oh...geure...” jawab Ha Joon sambil menatap Rumi
[Oh..baiklah...]
“Gumaweo Ha Joon Oppa...” kata Rumi disertai senyuman
[Terimakasih Ha Joon Oppa]
“Hyung Jinjja gumaweo...wah neomu meos-issda..” kata Jae Young sambil memperhatikan papan nama LED itu
[Hyung terima kasih banyak, wah ini sangat keren..]
“Oh Jae Young a..najung-e neon seolchihada..”
[Oh Jae Yeong, nanti kamu yang pasang ya..] 
Ha Joon berkata pada Jae Yong sambil menunjuk papan LED yang ada di depan meja Jae Yong itu.
“Ne Hyung..” kata Jae Yong sambil memberikan hormat kepada Ha Joon
[Iya Hyung]
“Rumi aku pergi dulu ya...” kata Ha Joon kemudian
“Iya Oppa...makasih ya...” jawab Rumi sambil memeberikan senyumannya kepada Ha Joon
Ha Joon pun ikutan tersenyum setelah melihat Rumi, dia lalu berjalan keluar dari kafe dan diikuti oleh Rumi di belakangnya.
“Nanti akau akan mampir sini sama Ali sepulang kerja..” kata Ha Joon
“Apa Oppa tidak capek..??” tanya Rumi
“Enggak kok..lagian Ali ingin makan bakwan lagi katanya..” jawab Ha Joon
Rumi tersenyum mendengar kata-kata Ha Joon, dia merasa sedang tidak berada di Korea, karena sosok oppa-oppa seperti di drama yang selama ini dia tonton bisa fasih berbahasa Indonesia.
“Kenapa kamu tersenyum..?” tanya Ha Joon heran
“Oh..tidak Oppa..hanya saja terlihat lucu, oppa korea sepertimu bisa fasih berbahasa Indonesia sepertiku...” kata Rumi
“Ah...itu..karena ibuku orang Indonesia, makanya aku fasih bahasa Indonesia...” jawab Ha Joon
“Hemm...ibu Oppa ada di mana sekarang? Apa di Indonesia..??” tanya Rumi penasaran
“Iya ada di Bali...aku setiap setahun sekali selalu kesana, atau kalau aku lagi bosan di sini aku selalu ke Bali menemui ibuku...” jawab Ha Joon
“Wah...pamanku juga tinggal di bali...aku kalau liburan sering kesana...” kata Rumi lagi
“Wah...benarkah...semoga kita bisa bertemu disana lagi Rumi...” kata Ha Joon dengan tatapan yang penuh arti ke Rumi
Melihat mata Ha Joon yang sangat teduh itu membuat Rumi memalingkan mukanya, dan Rumi merasa jantungnya berdegup jauh lebih kencang.
“Kalau begitu aku berangkat dulu ya...” jawab Ha Joon kemudian
“Oh..iya Oppa hati-hati di jalan...” jawab Rumi kemudian
Ha Joon memasuki mobilnya, dan dia masih melihat Rumi yang hari itu memakai sweater berwarna peach dengan kerudung yang senada, serta celana jeans yang bertipe jenis boyfriend sehingga terkesan kasual, di tambah sepatu kets warna putih yang Rumi kenakan hari itu. Penampilan yang sederhana itu membuat Ha Joon terus memandanginya, dan Rumi terlihat melambaikan tangannya kepada Ha Joon sebelum akhirnya dia mesuk kembali ke kafe.
“Simjang a...cheoncheonhira..” gumam Ha Joon
[Hatiku..tenanglah..]
Setelah Ha Joon pergi, Rumi, Yeorin dan juga Jae Yeong mulai membuka kafenya, dan tidak lupa Jae Yeong juga mempromosikan lewat selebaran yang sudah Yeorin buat semalam. Yeorin dan Rumi berada di dapur, dan sesaat kemudian ada beberapa pelanggan yang memasuki kafe Yeorin. Mereka memesan menu yang Rumi sediakan, karena mereka penasaran, dan juga memesan beberapa minuman disana. Rumi dan Yeorin saling bertukar pandang dan mulai tersenyum saat melihat lumayan ada beberapa pelanggan yang masuk lagi ke kafe mereka.
“Eonni...we did it...” seru Yeorin lirih kepada Rumi
Rumi hanya tersenyum melihat Yeorin yang terlihat bahagia saat tahu kafenya banyak pelanggan. Sessat rumi teringat kafe yang dia bangun di rumahnya, kafe itu juga bernama KAFE-IN, namun berbeda dengan kafe Yeorin, kafenya yang sangat meinim pengunjung kerena idenya sama sekali tidak pernah di dengar oleh bapaknya. Kadang Rumi juga sangat merindukan ayahnya, walaupun sangat keras dengannya, namun bagaimanapun beliau masih orang tua Rumi, orang yang membuat Rumi bisa seperti sekarang.
“Eonni..what’s wrong...?” tegur Yeorin karena melihat Rumi melamun
“Aniya...” jawab Rumi
[Tidak]
“Let’s go..we have many customer eonni...hwaiting...” kata Yeorin memberi semangat Rumi
Rumi melemparkan senyuman kepada Yeorin, dan dia sangat senang ketika melihat Yeorin sangat bersemangat hari itu.
“Rumi harap bapak baik-baik saja disana...” batin Rumi
Rendra berdiri di depan tulisan ‘KAFE-IN’ dia masih ingat betul teriakan kakaknya saat memanggilnya untuk membantunya memindahkan kursi dan juga meja. Dia juga melihat ornamen yang masih terpasang di dinding serta gelas dan juga peralatan yang sering kakaknya gunakan. Rendra terduduk di salah satu kursi di dalam kafe, dia merenungi tentang kakaknya yang selalu tidak bisa menang menghadapi bapaknya. Tidak terasa dia meneteskan air matanya, dia ingat mata sedih kakaknya waktu berpamitan dengannya di stasiun.
“Kak Rumi maafkan Rendra...” kata Rendra lirih
Tidak lama kemudian Rendra mendengar suara mobil bapaknya yang memasuki area rumahnya, dia lalu menyeka air matanya dan berjalan meninggalkan kafe Rumi. Rendra berpapasan dengan bapaknya yang juga mau memasuki rumahnya, lalu Rendra memilih untuk berjalan melewati pintu samping ketimbang pintu depan.
“Ren...” panggil bapaknya
Rendra menghentikan langkahnya, dan dia berbalik memandang bapaknya yang berdiri tidak jauh darinya.
“Apa ada kabar dari kakakmu...?” tanya bapaknya
“Dia masih di rmah kak Poppy...” jawab Rendra singat dan dia berlalu pergi
“Eh...nie anak gak sopan di ajak bicara malah pergi begitu aja..” gumam bapaknya